Awal 1993
Aku lega, urusanku dengan pihak kepolisian tidak berlanjut lebih panjang lagi. Hal itu karena masalah tawuran di sekolah kami bisa diselesaikan dengan damai. Inilah pertama kalinya aku berurusan dengan polisi. Seorang siswa kelas 3 SMP, yang masih mengenakan celana pendek ketika sekolah, tapi sudah berani ikut tawuran. Masalahnya? Ah, aku sendiri lupa. Yang pasti, justru ada rasa bangga di hatiku. Orang tuaku tidak boleh tahu hal ini. Surat panggilan untuk mereka sudah kubuang jauh-jauh tadi.
Ah, aku tak peduli. Toh selama ini mereka tidak pernah memperhatikanku, sibuk dengan urusannya sendiri. Keluargaku memang bukan golongan jet set, meski demikian kebutuhan materiku lebih dari tercukupi. Tapi aku heran, kenapa aku jarang berkomunikasi dengan mereka? Hingga sebesar ini, aku belum juga bisa mengaji dan shalat. Tidak ada yang mengajariku tentang agama, apalagi keluargaku sendiri masih awam. Tapi, siapa peduli?
Tahun 1994
Sekarang aku sudah duduk di SMA favorit di kotaku. Tapi kebandelanku bukannya berkurang, justru semakin bertambah. Aku sudah lupa, berapa kali aku terlibat perkelahian dengan alasan yang tidak jelas, bolos sekolah, dan merokok.
Hingga suatu hari aku bertemu dengan seorang teman, yang mengajariku untuk berguru pada orang “pintar”. Kuterima tawaran itu dengan senang hati. Satu hal yang harus kupantang atas anjuran “kyai” agar berhasil yakni aku harus menjahui “molimo”. Maka senakal-nakalnya aku, tidak pernah sampai mabuk, bahkan pacaran pun aku tidak pernah, demi menjalani perintah itu.
Sekarang jimat jadi andalanku. Agar penampilanku tambah “gagah”, sering aku mengenakan anting di hidung atau di alis. Meski demikian, aku tetap saja memiliki katakutan di sisi hatiku yang dalam. Aku takut jika tiba-tiba ada orang yang menusukku dari belakang, atau tanpa sepengetahuanku menyerang dengan senjata tajam.
Dengan “prestasiku” itu, hampir setiap “pekerja jalanan” mengenalku. Aku mengenal sopir angkot, kernet, tukang ojek, tukang becak, dan orang-orang terminal, karena memang di situ aku bergaul. Ya… di rumah aku jadi anak manis karena memang sikapku yang kalem, tapi diluar aku bisa bertindak seenaknya. Meski demikian, aku merasa ada sesuatu yang masih ingin kumiliki, entah apa itu.
Hari ini pertama kalinya aku melihat ibuku menangis, hanya karena aku pamit mau ke jogja dan tinggal agak lama di sana. Dan untuk pertama kalinya pula aku menyadari, ternyata selama ini orang tuaku sangat memperhatikanku. Aku telah salah menilai. Rasanya aku ingin minta maaf pada ibuku. Tapi jiwa remajaku melarangnya.
Berhari-hari aku merenungi peristiwa itu. Ada keinginan untuk memperbaiki diri. Tapi bagaimana caranya?
Akhir 1995
Aku sudah kelas 3 SMA. Meski demikian, tidak terlintas sama sekali dalam benakku apa yang akan kulakukan setelah lulus. Ketika teman-teman yang lain sibuk belajar, aku lebih suka nongkrong dengan teman-temanku.
Hingga suatu malam, saat aku nongkrong seperti biasa, aku mendengar ada suara pengajian dari radio. Suaranya cukup keras, hingga bisa terdengar dengan jelas. Awalnya aku tidak menggubris suara itu, namun tiba-tiba,”….Allah tidak akan mengampuni bosa syirik….” mubaligh tersebut mengutip suatu ayat Al-Quran. Aku sendiri tidak tahu apa kelanjutannya, tapi entah kenapa, tiba-tiba aku merasa takut mendengar ayat tadi.
Rasanya seluruh otakku tiba-tiba dipenuhi oleh suara tadi. Dan entah kenapa, aku seperti mendengar suara itu berulang-ulang,”….Allah tidak akan mengampuni dosa syirik…” Bukankah apa yang kulakukan selama ini adalah kesyirikan (seperti guru agama pernah menerangkan kepadaku)? Ya, aku telah bergelut dengan jimat, tenaga dalam, dan tetek bengeknya yang semuanya adalah syirik. Benarkah Allah tidak akan mengampuni dosaku? Lantas buat apa aku hidup jika jelas-jelas dosaku tidak diampuni oleh-Nya?
Malam itu aku benar-benar tidak dapat memejamkan mata. Aku gelisah sekali. Ya, sebandel-bandelnya kau ternyata masih takut dengan dosa dan neraka. Berhari-hari aku mengalami kegelisahan yang luar biasa. Hingga suatu malam, di saat kegelisahanku mencapai “puncaknya”, aku memutuskan untuk menemui seorang kyai. Aku melihat jam, sudah jam 12 malam, tapi aku tidak peduli, aku harus segera menemukan jawaban.
Kunaiki motorku dengan seorang teman, menuju rumah seorang kyai yang cukup ternama. Di sana aku mendapatkan penjelasan panjang lebar. Tapi aku merasa tidak puas dengan jawaban yang ku dapat. Esoknya kuajak temanku untuk menemui ustadz yang lain. Beberapa orang sudah kutanya, dari beberapa toloh organisasi Islam, maupun tokoh agama yang kuanggap mampu. Tapi dari semua jawaban yang mereka berikan tidak ada yang memuaskanku. Mereka mengatakan bahwa apa yang kulakukan hanyalah perantara atau wasilah, jadi tidak termasuk syirik. Namun entah kenapa, hatiku menolak jawaban itu.
Awal 1996
Aku memutuskan untuk mencari sendiri jawabannya. Sekarang aku lebih banyak menghabiskan waktuku di perpustakaan, untuk mencari buku-buku agama. Aku membaca seperti orang yang kehausan kemudian menemukan tetesan-tetesan air. Semua buku yang ada dari tipis sampai yang tebal kulalap habis, jika belum selesai aku sangat penasaran. Aku mulai mendekati teman-teman ROHIS, kupinjam buku-buku mereka. Sekarang aku makin benyak bergadang, tapi bukan untuk nongkrong seperti dulu, melainkan membaca buku yang sudah kupinjam sebelumnya. Aku sendiri heran, kekuatan dari mana yang mampu mendorongku begitu semangatnya untuk menekuni buku demi buku tiap harinya? Tentunya semua atas kehendak-Nya.
Kebiasaanku mulai kutinggalkan, teman-teman gengku juga mulai kujauhi, dan aku mulai jadi pendiam. Banyak yang heran melihat perubahanku yang sedrastis itu.
Aku mulai menjalankan shalat. Meski awalnya agak kaku, tapi kubulatkan tekadku untuk menjaga kewajibanku ini. Subhanallah, aku yang dulu merasa malu jika ketahuan shalat, karena akan menurunkan “wibawaku”, sekarang harus belajar dari nol tentang bacaan shalat. Aku juga mulai bertekad belajar mengaji, maka kutemui seorang ustadz di kampungku untuk belajar. Dan, hanya karena pertolongan dari Allah, aku sudah mampu membaca Al-Quran hanya dalam waktu seminggu. Allahu Akbar!
Dari membaca pula aku tahu bahwa merokok haram hukumnya. Maka tanpa menunggu waktu lagi, segera kutinggalkan rokok. Aku benar-benar mendapat pertolongan dari Allah, hingga mampu melakukan semua itu. Dari sebuah buku aku juga tahu, bahwa pakaian bagi laki-laki tidak boleh melebihi mata maki, dan sunnah memanjangkan jenggot. Maka sejak saat itu, aku mulai mengubah penampilanku.
September 1996
Sekarang aku mahasiswa sebuah PTS di Solo. Tempat yang pertama kucari adalah perpustakaan. Aku memang sudah “keranjingan” membaca buku-buku agama. Dan alhamdulillah, di sini referensinya lebih lengkap. Maka, aku mulai berkutat dengan buku-buku tebal, demi pencarian kebenaran yang kucari selama ini.
Hingga, aku membaca sebuah kitab tafsir. Dan alhamdulillah, aku menemukan ayat yang kucari-cari selama ini.” Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (An-Nisa’:48)
Dari tafsirnya aku tahu, bahwa masih ada kesempatan bertaubat bagi orang-orang yang melakukan dosa syirik selama dia masih bisa bertaubat kepada Allah. MasyaAllah, indahnya! Aku menangis, dan bersujud syukur atas karunia ini. Kini semangatku bertambah besar, jika Allah masih membuka pintu taubat, maka apalagi yang kutunggu?
Hingga suatu hari, aku lewat di masjid dekat kosku. Di sana aku melihat sekumpulan orang yang berpenampilan sama dengan penampilanku sedang mengikuti pengajian. Maka tanpa ragu lagi, aku masuk masjid dan ikut mendengarkan. Meski awalnya masih malu karena belum ada yang kukenal, tapi aku merasa tertarik dengan penyampaian ustadz tersebut. Subhanallah, baru kali ini aku mendengar penyampaian materi dengan ilmu dan hujjah yang mantap, tidak dibuat-buat.
Maka aku selalu mengikuti setiap taklim yang ada di masjid tersebut. Aku juga mulai kenal dengan baik ikhwan-ikhwan di sana. Ya, inilah yang kucari-cari selama ini. Pemahaman Islam sesuai dengan salafusshalih. Dan aku mulai mantap di atas manhaj salaf ini. Hingga aku menutuskan untuk tinggal di masjid, meskipun kosku belum genap 3 bulan kutempati. Aku ingin lingkungan yang lebih baik dan kondusif untuk belajar tentang din. Dengan dorongan dari ikhwan-ikhwan serta ustadz aku berhasil “membuang” ilmu tenaga dalamku.
Sekarang aku merasakan nikmatnya thalabul ‘ilmi. Tahun 1997, untuk menambah pengetahuanku aku ikut kursus bahasa Arab yang diselenggarakan sebuah pondok dan menjadi mustami’ di tadribud du’at.
Februari 2007
Kini aku telah berkeluarga, dengan seorang istri dan 2 anak. Jika kuingat-ingat kilasan 11 tahun yang lalu, semakin besar syukurku kepada Allah. Allah telah memberikan hidayah-Nya kepadaku, dan Dia-lah yang mampu membolak-balikkan hati manusia.
Dan Alhamdulillah, meskipun dengan usaha yang berat, keluargaku sudah bisa menerima prinsip dan keyakinanku. Meski demikian, aku sadar tugasku belum selesai. Aku masih memilki kewajiban mendidik keluargaku, berdakwah kepada orangtuaku, mendakwahi keluarga istriku, dan masyarakat sekitar. Sebuah tugas yang tidak ringan. Tapi aku yakin dengan pertolongan Allah. Ya Allah, mudahkanlah! (al faqir ilallah, Ibnu Abdurrahman)
Sumber
Tidak ada komentar:
Write komentar