Malam itu telah cukup larut ketika saya memasuki jalanan kota Surabaya. Telah lewat dari jam 11 malam. Masa cuti yg telah habis dan pekerjaan yg menumpuk, memaksa saya harus meninggalkan anak dan istri yg masih tergolek lemah karena habis melahirkan satu minggu sebelumnya. Mereka masih harus banyak-banyak istirahat di rumah mertua saya di Bojonegoro sana. Dan besok pagi saya harus bekerja lagi demi istri dan kedua balita saya itu. Ah, hari yg cukup melelahkan saat itu. Baru nyampai dari luar kota, naik motor sendirian menerjang dinginnya angin malam, capek banget rasanya. Apalagi setelah beberapa saat berpacu di jalanan tengah kota, warna langit nampak memerah. Dan rintik hujanpun mulai turun membasahi Jl. A Yani yg tak pernah sepi. Lengkap sudah. Kondisi tubuh yg lelah ditambah lagi pake acara kehujanan pula, huufff....
Setengah ngebut sayapun memacu motor mencari tempat untuk berteduh. Untunglah, penjual nasi goreng yg mangkal di ujung Jl. Jemursari itu, punya tenda sederhana. Lumayan... pikir saya. Segera saya berteduh, dan mendekati bapak-bapak penjual yg juga sendirian. Hanya sebatang rokok kretek dan cahaya redup lampu petromak yg menemani. Beliaupun lantas mempersilakan saya duduk.
"lenggah wonten mriki mawon lho Mas, kersane mboten kudanan (duduk disini saja Mas biar ndak kehujanan)."
Begitu katanya ketika saya meminta ijin untuk numpang berteduh. Benar saja hujan semakin deras, dan kamipun makin terlihat kerdil dalam kesunyian malam yg pekat. Karena merasa ndak nyaman atas kebaikan bapak penjual dan tendanya itu, saya lalu berkata,
"tolong buatkan mie goreng satu Pak, dimakan sini saja."
Bapak itu tersenyum, beranjak dari duduknya dan mulai menyiapkan tungku perapian. Beliau nampak sibuk. Bumbu-bumbu pun telah siap untuk diracik di penggorengan. Tampaklah pertunjukkan sebuah keahlian yg ndak bisa diraih dalam kurun waktu yg singkat. Tangannya cekatan sekali meraih botol kecap, botol saos dan segenap botol bumbu lainnya. Segera saja, mie goreng yg masih mengepul panas telah terhidang dihadapan saya. Keadaan yg semula canggungpun berangsur relax. Basa-basi lalu saya membuka obrolan ringan,
"Waaah hujannya tambah deres njih Pak, orang-orang makin jarang yg keluar donk..?"
Seraya meracik teh panas, bapak itu menoleh kearah saya, "Iya ya Mas... jadi sepi nih dagangan saya.." katanya sambil menghisap rokok dalam-dalam.
"Kalau hujan begini, jadi sedikit yg beli ya Pak?" celetuk saya, "waaah... rezekinya jadi berkurang donk?"
Duuuh... pertanyaan yg bodoh. Ya tentu saja ndak banyak yg beli kalau hujan begini. Tentu pertanyaan itu hanya akan membuat si Bapak tambah sedih, pikir saya. Namun sepertinya saya salah sangka,
"Gusti Allah menika mboten nate sare Mas... (Allah itu ndak pernah tidur)" begitu katanya, "rezeki saya ada dimana-mana. Justru saya malah seneng kalo hujan begini. Alhamdulillah istri sama anak saya di kampung ndak perlu beli air untuk membasahi sawah. Yah.. meskipun ndak lebar, tapi lumayanlah. Saget damel mangan saben dinane (bisa buat makan sehari-hari)," bapak itu melanjutkan, "dan anak saya yg disini pasti bisa ngojek payung kalo besok masih ujan."
Diegh..! Detak jantung saya berhenti sesaat. Dduuuuh... hati saya tergetar. Matapun sedikit berkaca. Bapak itu benar, Gusti Allah menika mboten nate sare, Tuhan itu ndak pernah tidur. Allah memang Maha Pemurah, yg tak pernah terlelap demi untuk hamba-hamba-Nya. Saya baru sadar, ternyata selama ini saya telah salah dalam memaknai hidup. Falsafah hidup yg saya punya seperti ndak ada artinya di depan perkataan sederhana itu. Maknanya terlampau dalam. Dan itu membuat saya sadar, betapa kerdilnya saya di hadapan Tuhan.
Saya selalu beranggaban bahwa hujan adalah bencana, hujan adalah petaka bagi banyak hal. Saya selalu berpendapat bahwa rezeki itu selalu berupa materi dan hal nyata yg bisa digenggam serta dirasakan. Dan selama ini saya juga beranggaban bahwa saat ada ujian yg menimpa maka itu artinya saya cuma harus sabar, sabar dan terus bersabar. Namun rupanya semua itu salah.
Hujan memang bisa menjadi bencana, tapi rintiknya bisa menjadi anugerah bagi setiap petani. Derasnya juga menjadi berkah bagi sawah-sawah yg perlu diairi. Derai hujan mungkin bisa menjadi petaka, namun derai itu pula yg menjadi harapan bagi sebagian orang. Pengojek payung, pendorong mobil yg mogok, penjual tanaman hias dll. Jangan hanya diam bersabar tapi barengi juga dengan ikhtiar..!
Hmmmm… saya makin bergegas untuk menyelesaikan mie goreng itu. Beribu pikiran nampak seperti lintasan-lintasan cahaya yg berkejaran di sulur-sulur otak saya,
"ya Allah ya Tuhanku... Engkau memang Maha yg Tak Pernah Terlelap walau hanya sekejap."
Seiring lamunan itu, tanpa saya sadari ternyata hujan telah reda dan sepiring mie gorengpun telah ludes saya makan. Dalam perjalanan pulang, hanya kata itu yg selalu teringat, Gusti Allah menika mboten nate sare Mas... mboten nate sare... mboten nate sare.
Begitulah... saya sering takjub pada hal-hal kecil yg ada di sekitar saya. Allah memang selalu punya banyak rahasia untuk mengingatkan kita dengan cara yg tak pernah kita duga sebelumnya. Selalu saja Dia memberikan cinta kepada saya lewat hal-hal yg sederhana. Dan hal-hal seperti itu kerap membuat saya menjadi semakin banyak belajar. Dulu saya berharap bisa melewati tahun ini dengan hal-hal besar, dengan sesuatu yg istimewa. Saya sering berharap, saat saya bertambah usia, harus ada hal besar yg saya lampaui. Seperti tahun sebelumnya, saya ingin ada hal yg menakjubkan yg berhasil saya lakukan.
Namun rupanya tahun ini Allah punya rencana lain buat saya. Dalam setiap doa saya, sering terucap agar saya selalu dapat belajar dan memaknai hikmah kehidupan. Dan kali ini Allah pun tetap memberikan yg terbaik buat saya. Saya tetap belajar dan terus belajar, walaupun bukan dengan hal-hal besar dan istimewa.
Trimakasih ya Allah atas segala rahmat dan kenikmatan yg telah Engkau berikan. Ampuni hamba yg kerap kali meragukan keagungan-Mu.
Tidak ada komentar:
Write komentar