Jumat, 19 Oktober 2012

Mantan Copet Jadi Pengusaha

Assalaamu 'Alaikum wr.wb

Pagi itu... seperti biasa, setelah sarapan 'sego tabok' (nasi bungkus dengan harga Rp 1000/bungkusnya), di warung depan Pasar Kendangsari, saya segera melanjutkan tujuan, berkeliling di kawasan industri mencari lowongan pekerjaan.


Dengan bermodalkan sepeda Federal hasil minjam punya tetangga, karna kebetulan sepeda saya lagi rusak, tanpa mengenal lelah, saya terus berkeliling dari satu pabrik ke pabrik yg lain, sambil ndak lupa meninggalkan surat lamaran di beberapa pabrik yg membuka lowongan kerja. Dalam hati, saya terus saja meneriakkan kata itu. Nothing Impossible, ndak ada yg ndak mungkin, saya pasti bisa berubah menjadi orang yg lebih baik.
Yup.. kata itu memang sudah menjadi motto hidup saya sejak dulu. Selama kita masih mau berusaha, Allah pasti akan membukakan jalan-Nya.
Hari itu benar-benar menjadi hari yg sangat melelahkan buat saya. Setelah dua bulan sebelumnya saya lulus dari sekolah, dan akhirnya nganggur ndak punya kegiatan sama sekali kecuali ngamen sana ngamen sini, otomatis perut sayapun ikut nganggur. Kadang sehari makan cuma sekali kalo ngamenku lagi sepi, karna memang saya sudah memutuskan untuk berhenti nyopet, setelah saya lulus dari STM. Saya akan berubah menjadi orang yg lebih baik, Nothing Impossible, ndak ada yg ndak mungkin, saya pasti bisa mencari uang dengan cara yg halal, yg ndak merugikan orang lain lagi.

Nah... siang itu, ketika saya sudah merasa lelah mengayuh sepeda mengelilingi Kawasan SIER, lalu dilanjut ke kawasan Industri Tambak Sawah, dalam perjalanan pulang, saya menyempatkan diri istirahat di depan bioskop Anta di kawasan kampus Petra. Dan di antara satu dua tetes keringat yg saya biarkan jatuh itulah, tiba-tiba duduk di samping saya seorang lelaki seumuran saya, mengajak ngobrol sana sini, cerita ini itu. Hingga tanpa ragu, sayapun lalu menceritakan maksud dan tujuan saya sebenarnya bahwa saya sedang membutuhkan satu pekerjaan. Dia bilang, kebetulan sekali kakaknya sedang mencari seorang lulusan STM mesin, yg mau dijadikan sebagai tukang bubut di bengkel pribadinya. Tanpa banyak kata, sayapun langsung menerima tawaran itu.
Alhamdulillah ya Allah... berulang kali saya ucapkan puji syukur itu di dalam hati. Akhirnya sebentar lagi saya akan mendapatkan sebuah pekerjaan yg saya impi-impikan selama ini.

Singkat cerita, di siang terik itu, (kira-kira jam setengah 2) saya lalu berboncengan dengannya menuju tempat kerja yg ditawarkannya tadi. Kata dia tempat kerja kakaknya itu ada dikawasan Masjid Akbar, atau sekitar 10 kiloan dari kampus Petra. Dengan semangat membara, sayapun mengayuh sepeda hasil minjam tetangga itu ke arah yg dia tunjuk. Dan dalam beberapa menit, akhirnya kami sampai di kawasan Gayung Sari. Temen saya bilang mau mampir dulu sebentar di rumah temennya yg bernama Anton, dan sayapun mengiyakannya. Sampai dirumah Anton, Ibu Anton bilang, Antonnya lagi main bola di pinggir Tol. Akhirnya kamipun menyusulnya. Waktu itu jam tangan saya menunjukkan pukul tiga sore. Sampai dilapangan bola ternyata Antonnya ndak ada, padahal temen saya bilang ada urusan penting yg harus ia selesaikan dengan Anton. Akhirnya tanpa keraguan sedikitpun, saya biarkan temen saya tadi, memakai sepeda saya, untuk mencari Anton sebentar, sementara saya disuruh menunggu saja disitu.
Sambil melihat riangnya anak-anak bermain bola, saya tetap setia menunggu teman saya tadi kembali, hingga saya lupa akan tujuan utama saya yaitu mencari pekerjaan. Sepuluh menit berlalu, dia belum kembali. 20 menit, 30 menit, 40, 50 sampai satu jam saya menunggu ternyata dia ndak kembali juga. Sayapun mulai gusar. Saya lalu kembali ke rumah Anton untuk menanyakan keberadaan teman saya itu, dan Alhamdulillah Antonnya ada di rumah itu. Tapi ternyata temen saya ndak ada dan ada satu lagi jawaban Anton yg membuat saya tersentak kaget.
Ternyata baru kemarin siang Anton mengenal temen saya tadi. Antonpun ndak tau siapa dia sebenarnya dan dimana rumahnya.
Mati aku..! Bagai tercekat, nafas di kerogkongan saya ketika mendengar jawaban itu.

Ya Allah... ternyata saya sudah terpedaya, saya tertipu olehnya. Jaket kakak saya dan sepeda federal punya tetangga itu sekarang hilang bersamanya. Lunglai seluruh sendi kaki kurasa. Apa maksud dari ini semua ya Allah, kenapa Kau timpahkan ini padaku, pada hamba-Mu yg tak berdaya ini.
Bukan pekerjaan itu yg saya dapat tapi malah sepeda tetangga saya yg lenyap. Gimana saya akan mempertanggung-jawabkan ini nantinya. Dari mana saya bisa mendapatkan uang untuk mengganti sepeda yg hilang itu?? Ya Allah, apa yg harus saya lakukan sekarang?
Saya hanya bisa duduk merenung, mencoba menerima apa yg baru saja saya alami.
Hingga akhirnya saya memaksakan diri ini bangkit, mengumpulkan lagi daya kekuatan menyusuri jalan menuju pulang, meski itu harus melangkahkan kaki berkilo-kilo meter jauhnya.

Sampai ditempat kost, tak ayal lagi, semua orangpun menggoblok-goblokkan saya. Koq bisa seorang mantan preman sampai kena tipu?? Yah...... namanya juga manusia Mbak.. Mas.. kesialan itu pasti bisa saja menimpa. Mungkin inilah cara Allah menguji kebulatan tekad saya untuk berubah. Atau mungkin juga ini semua balasan atas kelakuan bejat saya dulu, mengambil yg bukan milik saya, seenak hati. Apa yg bisa saya lakukan sekarang selain pasrah menerima semuanya.

Keesokan harinya, saya kembali melakukan aktifitas itu, mengelilingi Kawasan Industri, mencari lowongan pekerjaan. Kali ini saya memakai sepeda saya sendiri yg sudah saya perbaiki semalam. Tapi lagi-lagi usaha saya kali ini ndak membuahkan hasil, dari ratusan pabrik yg berdiri kokoh itu, ndak satupun yg membuka lowongan pekerjaan.
Akhirnya sayapun pulang dengan memikul rasa lungkrah yg luar biasa. Seperti biasa sebelum pulang, saya selalu menyempatkan diri mencari tempat untuk sekedar mengeringkan keringat. Dan karena waktu itu hari Jum'at, sayapun memilih sebuah masjid dikawasan Kutisari untuk tempat saya beristirahat, sekalian menunaikan Ibadah Sholat Jum'at. Dalam suasana hening itu, saya bersujud menghadapnya. Doa dan pengharapanpun mengalir keluar dari hati saya yg terdalam.

"ya Allah, Sang Maha Pemberi... andaikan saya boleh meminta, ijinkanlah saya berubah menjadi manusia yg lebih berguna. Tunjukkanlah jalan-Mu untuk saya melangkah ke arah itu. Ampunilah segala kekhilafan saya di masa lalu dan tuntunlah saya menuju jalan lurus-Mu, amin.."

Seusai Sholat Jum'at, saya duduk merenung di undakan masjid itu, tiba-tiba saja dari arah belakang, sebuah tangan kekar menyentuh lembut pundak kananku.

"Bapak Personalia??!" Begitu saya biasa menyapanya dulu, ketika saya masih PSG di perusahaannya. Saya menatap lelaki kekar itu dengan penuh pengharapan.

"sudah lulus sekolahnya?? kerja dimana sekarang??"

"Alhamdulillah sudah Pak... tapi saya masih nganggur, ini tadi saya habis keliling SIER, tapi ndak ada satupun pabrik yg membuka lowongan kerja."

"ya sudah kalo gitu sekarang kamu ikut saya saja, kerja diperusahaan saya"

"beneran Pak??"

"iya bener..."


Alhamdulillah ya Allah.. akhirnya Kau bukakan juga jalan itu untuk saya. Dan berawal dari sinilah saya mulai menata hidup saya kembali. Dari yg dulunya seorang tukang copet, mulai saat itu telah berubah menjadi tukang bubut. Nothing Impossible, ndak ada yg ndak mungkin.
Dari yg dulunya selalu makan dari uang haram, sejak saat itu mulai bisa merasakan nikmatnya uang halal. Dan sedikit demi sedikit hidup sayapun mulai berubah, penghasilan saya mulai bertambah. Kalo dulu saya hanya mampu membawa pulang uang maksimal 15 ribu per hari, hasil mengamen, sejak saat itu saya sudah bisa membawa uang lebih.
Alhamdulillah ya Allah...
Nothing Impossible, ndak ada yg ndak mungkin.

Hingga 10 tahun berlalu, kehidupan saya diperantauan ini sedikit demi sedikit mulai membaik. Kalo situasi ekonominya stabil, saat ini saya sudah bisa membawa pulang penghasilan bersih, minimal 600 ribu dalam seminggu.
Alhamdulillah ya Allah...
Nothing Impossible, ndak ada yg ndak mungkin. Selama kita masih mau berusaha, Allah pasti akan membukakan jalan-Nya. Trima kasih Bapak Personalia yg sudah menjadi perantara-Nya.

Kawan-kawan semua, itulah tadi sepenggal kisah hidup saya yg masih selalu mencoba merubah dirinya ke arah yg lebih baik. Semoga kalian bisa mengambil sisi baik dari kisah hidup saya tadi.
Ingat..!! Nothing Impossible, ndak ada yg ndak mungkin..!!

Dan untuk selanjutnya nanti, saya akan menuliskan lagi kisah mantan copet yg sekarang sudah menjadi seorang pengusaha sukses (bagian kedua).

Wassalaamu 'Alaikum wr.wb 


Bagian dua

Assalaamu 'alaikum sahabatku semua...

Seperti yg saya bilang kemarin bahwa kali ini saya akan melanjutkan lagi kisah mantan copet yg lain yg sekarang sudah berhasil menjadi seorang pengusaha sukses. Tapi sebelumnya, saya mau mengucapkan terimakasih dulu yg sebesar-besarnya atas partisipasi sahabat-sahabat semua yg telah meninggalkan komentarnya di postingan saya kemarin.

Memiliki usaha sendiri adalah cita-cita dan obsesi saya sejak saya memutuskan untuk berhenti nyopet waktu itu.

Mantan copet itu akhirnya menjadi seorang pengusaha sukses.

Hmmm... kala itu saya selalu membayangkan, betapa bahagianya hati ini, bila kelak suatu ketika sahabat-sahabat semua menggumamkan kalimat itu di belakang saya. Ini adalah obsesi terbesar saya sepanjang hidup, dan obsesi itu kian hari kian terasa kuat semenjak saya bertemu dengan seorang Bapak yg ternyata adalah mantan copet juga. Sama seperti saya.

Waktu itu...
seperti biasa setelah turun dari Bus Aneka Jaya jurusan Pacitan-Ponorogo, saya langsung menuju Bus Restu jurusan Ponorogo-Surabaya, yg sering saya tumpangi setiap habis mudik dan kembali ke tempat kerja di Surabaya.
Kebetulan bus tersebut belum begitu ramai dengan penumpang sehingga dengan begitu mudahnya saya bisa menemukan beberapa kursi kosong yg masih tersisa. Setelah mencari-cari sebentar, akhirnya saya temukan juga satu kursi yg saya rasakan paling nyaman untuk saya tempati. Saya kemudian duduk di kursi deretan ke 4 dari depan, di sisi sebelah kiri yg berisi dua kursi. Karena waktu itu saya merasa capek sekali, akhirnya ndak berapa lama kemudian, sayapun segera terlelap dibalik topi dan kaca mata hitam saya.
Saking lelapnya saya tertidur, tanpa terasa, dalam sekejap bus itupun akhirnya sampai di kawasan Mojokerto.

Nah disinilah saya bertemu dengan Bapak tadi, yg mana beliau ini telah berhasil merubah jalan hidupnya secara drastis.
Bapak itu berjalan ke arah saya sambil menggandeng anak perempuannya. Di tangan kanannya tergenggam sebuah ponsel Nokia N73. Sayapun lalu membaginya tempat duduk. Gadis kecil sekitar tujuh tahunan itupun tampak begitu asyik bergelayut manja di bahu Bapaknya, sambil membawa sebungkus plastik tahu asin, masih lengkap dengan lombok dan juga petisnya.
Sambil makan tahu, sesekali gadis kecil itu menatapi saya, sementara Bapaknya diam saja sambil terus memandang lurus ke depan.
Karena hari itu hari Senin dan bukan masa liburan sekolah, iseng-iseng saya lalu nanya,

"ndak sekolah to Dik?" gadis kecil itu hanya tersipu, lalu memandang Bapaknya.
Sang Bapak yg mendengar pertanyaan itu kemudian tersenyum kepada saya sambil berkata,

"mbolos Mas, sekali-kali kan ndak papa, habis kalo tahu Bapaknya bepergian pasti selalu minta diajak"

"memang Bapaknya mau ke mana to?"

"ke Surabaya"

"wuaaah sama dong, saya juga mau kesana lho Pak, kerja" jawab saya kemudian, "kok Ibunya ndak ikut?" tanya saya lagi

"Ibunya di rumah, jaga kalo ada orang setor"

"setor?? setor apa to Pak?"

"setor plastik bekas"

"ooo begitu"

"waktu muda dulu, saya pernah tinggal di Surabaya juga lho Mas" katanya seperti bernostalgia.

"tiap hari kluyuran di terminal Bungurasih" tambahnya.

"lho, koq kluyuran di Bungurasih Pak?" saya jadi tertarik untuk bertanya lebih jauh.

"nyopet Mas, tapi setelah kawin dan punya anak, saya insyaf. Kerja kayak gitu emang gampang cari duitnya, tapi nyusahkan orang sehingga bikin hidup keluarga kami ndak berkah. Lagian saya juga ndak mau memberi makan anak saya dengan uang haram" lanjutnya lagi.

Mak diegghh....! jantung saya berdegup kencang waktu itu, jangan-jangan Bapak ini mengenali saya..."terus, bapak kerja dimana waktu itu?" dengan masih berusaha menyembunyikan rasa khawatir, saya memberanikan diri untuk terus mengoreknya.

"karena saya ndak sempat tamat SMP, akhirnya cuma bisa jadi pemulung di Surabaya. Itu saya jalani selama 2 tahun, tapi karena ndak ada perkembangan, akhirnya saya pulang ke daerah asal istri saya, di Mojokerto, disana saya mengumpulkan para pemulung biar setor ke saya, terus memulai usaha jadi pengepul sampah plastik untuk dikirim ke pabrik plastik"

"plastik apa saja yang disetorkan?"

"macam-macam Mas, mulai dari bekas gelas aqua, botol plastik, keranjang plastik, timba, tas kresek, sampai polybag bekas pertanian. Pokoknya hampir semua sampah yg berbahan plastik"

"terus langsung dijual ke pabrik?" tanya saya

"ya ndak, musti disortir, dibersihkan, terus digiling sampai hancur. Setelah itu baru bisa dikirim ke pabrik plastik"

"wuaaaah, saya benar-benar salut dengan kerja keras Bapak" ucap saya berterus-terang.

Wajah Bapak itu nampak sumringah saat mendengar ucapan saya.

"Alhamdulillah Mas, rezeki memang selalu ada kalau kita terus menerus berusaha dan berdoa" jawabnya, "jadi ndak perlu nyopet, mencuri apalagi korupsi buat nyari rezeki. Sekarang saya sudah bisa mempekerjakan 5 orang tetangga saya buat menyortir dan menggiling plastik di rumah" tambahnya lagi.

"lha terus suka-duka bisnis sampah plastik itu gimana sih Pak?"

"sukanya ya permintaan plastik itu ndak pernah mandeg, pasti selalu ada. Kan pabrik plastik juga banyak. Bahan baku sampah plastik juga bertebaran dimana-mana, hampir di tiap tong sampah bisa kita temui. Jadi jangan kuatir kekurangan bahan baku atau ndak bisa memasarkannya. Kita tinggal pandai-pandai saja mencari peluang, mengumpulkan pemulung agar mau kirim ke kita, menyortir sampah, digiling, terus dijual ke pabrik. Sederhana saja kok Mas"

"kalau duka-nya Pak?" tanya saya.

"dukanya itu kadang pemulung yg setor suka main curang. Misalnya sampah polybag diisi tanah lumpur biar tambah berat. Terus mereka suka kasbon tapi ndak pernah setor lagi alias kabur. Malah ada yg sudah saya modali sepeda pancal, tapi justru setor barangnya ke orang lain. Adakalanya pabrik juga suka mengulur-ulur pembayaran, padahal modal saya kan terbatas, tapi itu ndak semuanya kok Mas, buktinya saya masih bisa kerja sampah plastik" katanya sambil tersenyum.

Singkat cerita, siang itu saya beruntung sekali mendapatkan teman seperjalanan yang enak diajak ngobrol, hingga ndak kerasa bus sudah memasuki kawasan Medaeng. Bus itupun segera berhenti beberapa saat, menurunkan penumpangnya, dan itu membuat udara terasa semakin panas. Sayapun lalu melepas kaca mata dan topi bordir yg sudah saya pakai sejak berangkat tadi pagi.
Dan tanpa saya sadari, ter-urailah rambut saya yg waktu itu masih sepanjang bahu yg sedari pagi tersembunyi rapi di dalam topi. Bapak itupun setengah terkejut menatap saya dalam-dalam.

"Gareng..??!" Bapak itu menyerukan nama panggilan saya ketika masih menjadi preman dulu... "koen iku Gareng kan??" serunya penuh rasa penasaran.

"iya Pak.. saya memang Gareng, sampeyan sopo??"

"aku Cak Tarjo Rungkut, anak buahe Cak Rukin"


Akhirnya tanpa bisa mengelak lagi, sayapun terpaksa mengakui bahwa saya memang Gareng, Sang Mantan Preman Bungurasih juga. Dan obrolanpun berlanjut dengan menggunakan bahasa terminalan yg sebenarnya sangat kaku buat lidah wong kulonan seperti saya ini.

"Jianc**... ngono ket mau koen mbidhek ae cangkemmu..!"

"sepurane Cak.. polae aku yo wis gak nyopet maneh, aku wis tobat. Aku yo rodok lali mbarek pheno, lha pheno sak iki wis dadi wong sogih ngono, gawanane hape wapik.."

"sogih apane..?? nyambut naendi koen sak iki??"


Dan bla bla bla... obrolanpun berlanjut sebegitu serunya. Dari sekedar mengenang masa lalu sampai membahas tentang pekerjaan yg saat ini sama-sama dilakoni. Dan dari obrolan sekejap itulah akhirnya saya terinspirasi untuk segera mewujudkan obsesi saya waktu itu. Saya yakin saya pasti bisa. Buktinya ya Cak Tarjo tadi. Meskipun SMP ndak tamat, tapi sekarang dia sudah bisa berdiri sendiri, mengelola bisnis sendiri. Sedangkan saya. Saya lulusan STM, punya ketrampilan khusus, masak saya ndak bisa seperti dia. Apalagi sekarang saya sudah berpenghasilan tetap, hasil menjabat sebagai salah satu operator mesin bubut di salah satu perusahaan ternama di Surabaya. Masak saya ndak bisa mewujudkan obsesi saya itu. Saya pasti bisa menyisihkan sebagian dari gaji saya untuk mewujudkan obsesi saya itu. Saya pasti bisa. Lihat saja, beberapa tahun lagi saya pasti sudah bisa memiliki bengkel bubut sendiri, berikut mesin dan peralatan lainnya. Itu tekad saya.
Ndak ada yg ndak mungkin, selama kita punya keyakinan, dan masih mau berusaha, Allah pasti akan membukakan jalan-Nya.

Dan demikianlah akhir dari kisah Sang Mantan Copet itu. Berkat pertemuan tersebut, akhirnya saya semakin rajin menyisihkan sebagian dari gaji saya untuk mewujudkan cita-cita besar itu.
Doakan saya ya Sahabatku semua, semoga dalam beberapa tahun ke depan, obsesi saya itu segera terwujud, amin.

Wassalaamu 'alaikum wr.wb. 

Siti Penjual Bakso Berusia 7 Tahun

Siti Penjual Bakso berusia 7 Tahun membuat miris pembaca kaskus dan kompasiana dengan kisah perjuangan hidupnya. Siti orang pinggiran adalah seorang anak yatim yang harus ikut bekerja membiayai hidupnya dan ibunya dengan berjualan bakso keliling. Siti Pedagang Bakso cilik tinggal di Desa Karangkamulyan, Kec. Cihara, Kabupaten Lebak, Banten Selatan. Siti orang pinggiran yang harus kita pedulikan. Tulisan ini adalah milik seorang penulis kompasiana. Mari kita simak kisah hidup Siti Bocah Penjual Bakso

Siti Penjual Bakso berusia 7 Tahun

Siti, seorang bocah yatim yang ditinggal mati ayahnya sejak usia 2 tahun. Kini Siti berumur 7 tahun. Sehari-hari sepulang sekolah Siti masih harus berkeliling kampung menjajakan bakso. Karena ia masih anak-anak, tentu belum bisa mendorong rombong bakso. Jadi bakso dan kuahnya dimasukkan dalam termos nasi yang sebenarnya terlalu besar untuk anak seusianya. Termos seukuran itu berisi kuah tentu sangat berat.
Tangan kanan menenteng termos, tangan kiri menenteng ember plastik hitam berisi mangkok-mangkok, sendok kuah, dan peralatan lain. Dengan terseok-seok menenteng beban seberat itu, Siti harus berjalan keluar masuk kampung, terkadang jalanannya menanjak naik. Kalau ada pembeli, Siti akan meracik baksonya di mangkok yang diletakkan di lantai. Maklum ia tak punya meja. Terkadang jika ada anak yang membeli baksonya, Siti ingin bisa ikut mencicipi. Tapi ia terpaksa hanya menelan ludah, menahan keinginan itu. Setelah 4 jam berkeliling, ia mendapat upah 2000 perak saja! Kalau baksonya tak habis, upahnya hanya Rp. 1000,- saja. Lembaran seribuan lusuh berkali-kali digulung-gulungnya.
Sampai di rumah, Siti tak mendapati siapapun. Ibunya jadi buruh mencangkul lumpur di sawah milik orang lain. Tak setiap hari ia mendapat upah uang tunai. Terkadang ia hanya dijanjikan jika kelak panenan berhasil ia akan mendapatkan bagi hasilnya. Setiap hari kaki Ibunda Siti berlumur lumpur sampai setinggi paha. Ia hanya bisa berharap kelak panenan benar-benar berhasil agar bisa mendapat bayaran.

Hari itu Siti ingin bisa makan kangkung. Ia pergi ke rumah tetangganya, mengetuk pintu dan meminta ijin agar boleh mengambil kangkung. Meski sebenarnya Siti bisa saja langsung memetiknya, tapi ia selalu ingat pesan Ibunya untuk selalu minta ijin dulu pada pemiliknya. Setelah diijinkan, Siti langsung berkubang di empang untuk memetik kangkung, sebatas kebutuhannya bersama Ibunya. Petang hari Ibunya pulang. Siti menyerahkan 2000 perak yang didapatnya. Ia bangga bisa membantu Ibunya. Lalu Ibunya memasak kangkung hanya dengan garam. Berdua mereka makan di atas piring seng tua, sepiring nasi tak penuh sepiring, dimakan berdua hanya dengan kangkung dan garam. Bahkan ikan asin pun tak terbeli, kata Ibunda Siti.
Bayangkan, anak sekecil itu, pulang sekolah menenteng beban berat jualan bakso keliling kampung, tiba di rumah tak ada makanan. Kondisi rumahnya pun hanya sepetak ruangan berdinding kayu lapuk, atapnya bocor sana-sini. Sama sekali tak layak disebut rumah. Dengan kondisi kelelahan, dia kesepian sendiri menunggu Ibunya pulang hingga petang hari.
Sering Siti mengatakan dirinya kangen ayahnya. Ketika anak-anak lain di kampung mendapat kiriman uang dari ayah mereka yang bekerja di kota, Siti suka bertanya kapan ia dapat kiriman. Tapi kini Siti sudah paham bahwa ayahnya sudah wafat. Ia sering mengajak Ibunya ke makam ayahnya, berdoa disana. Makam ayahnya tak bernisan, tak ada uang pembeli nisan. Hanya sebatang kelapa penanda itu makam ayah Siti. Dengan rajin Siti menyapu sampah yang nyaris menutupi makam ayahnya. Disanalah Siti bersama Ibunya sering menangis sembari memanjatkan doa. Dalam doanya Siti selalu memohon agar dberi kesehatan supaya bisa tetap sekolah dan mengaji. Keinginan Siti sederhana saja : bisa beli sepatu dan tas untuk dipakai sekolah sebab miliknya sudah rusak.
Kepikiran dengan konsidi Siti, dini hari terbangun dari tidur saya buka internet dan search situs Trans7 khususnya acara Orang-Orang Pinggiran. Akhirnya saya dapatkan alamat Siti di Kampung Cipendeuy, Desa Cibereum, Cilangkahan, Banten dan nomor contact person Pak Tono 0858 1378 8136.

Usai sholat Subuh saya hubungi Pak Tono, meski agak sulit bisa tersambung. Beliau tinggal sekitar 50 km jauhnya dari kampung Siti. Pak Tono-lah yang menghubungi Trans7 agar mengangkat kisah hidup Siti di acara OOP. Menurut keterangan Pak Tono, keluarga itu memang sangat miskin, Ibunda Siti tak punya KTP. Pantas saja dia tak terjangkau bantuan resmi Pemerintah yang selalu mengedepankan persyaratan legalitas formal ketimbang fakta kemiskinan itu sendiri. Pak Tono bersedia menjemput saya di Malimping, lalu bersama-sama menuju rumah Siti, jika kita mau memberikan bantuan. Pak Tono berpesan jangan bawa mobil sedan sebab tak bakal bisa masuk dengan medan jalan yang berat.
Saya pun lalu menghubungi Rumah Zakat kota Cilegon. Saya meminta pihak Rumah Zakat sebagai aksi “tanggap darurat” agar bisa menyalurkan kornet Super Qurban agar Siti dan Ibunya bisa makan daging, setidaknya menyelematkan mereka dari ancaman gizi buruk. Dari obrolan saya dengan Pengurus Rumah Zakat, saya sampaikan keinginan saya untuk memberi Siti dan Ibunya “kail”. Memberi “ikan” untuk tahap awal boleh-boleh saja, tapi memberdayakan Ibunda Siti agar bisa mandiri secara ekonomi tentunya akan lebih bermanfaat untuk jangka panjang. Saya berpikir alangkah baiknya memberi modal pada Ibunda Siti untuk berjualan makanan dan buka warung bakso, agar kedua ibu dan anak itu tidak terpisah seharian. Siti juga tak perlu berlelah-lelah seharian, dia bisa bantu Ibunya berjualan sambil belajar.
Mengingat untuk memberi “kail” tentu butuh dana tak sedikit, pagi ini saya menulis kisah Siti dan memforward ke grup-grup BBM yang ada di kontak BB saya. Juga melalui Facebook. Alhamdulillah sudah ada beberapa respon positif dari beberapa teman saya. Bahkan ada yang sudah tak sabar ingin segera diajak ke Malimping untuk menemui Siti dan memeluknya. Bukan hanya bantuan berupa uang yang saya kumpulkan, tapi jika ada teman-teman yang punya putri berusia 7-8 tahun, biasanya bajunya cepat sesak meski masih bagus, alangkah bermanfaat kalau diberikan pada Siti.
Adapula teman yang menawarkan jadi orang tua asuh Siti dan mengajak Siti dan Ibunya tinggal di rumahnya. Semua itu akan saya sampaikan kepada Pak Tono dan Ibunda Siti kalau saya bertemu nanti. Saya menulis artikel ini bukan ingin menjadikan Siti seperti Darsem, TKW yang jadi milyarder mendadak dan kemudian bermewah-mewah dengan uang sumbangan donatur pemirsa TV sehingga pemirsa akhirnya mensomasi Darsem. Jika permasalahan Siti telah teratasi kelak, uang yang terkumpul akan saya minta kepada Rumah Zakat untuk disalurkan kepada Siti-Siti lain yang saya yakin jumlahnya ada beberapa di sekitar kampung Siti.
Mengetuk hati penguasa formal, mungkin sudah tak banyak membantu. Saya menulis shout kepada Ibu Atut sebagai “Ratu” penguasa Banten ketika kejadian jembatan ala Indiana Jones terekspose, tapi toh tak ada respon. Di media massa juga tak ada tanggapan dari Gubernur Banten meski kisah itu sudah masuk pemberitaan media massa internasional. Tapi dengan melalui grup BBM, Facebook dan Kompasiana, saya yakin masih ada orang-rang yang terketuk hatinya untuk berbagi dan menolong. Berikut saya tampilkan foto-foto Siti yang saya ambil dari FB Orang-Orang Pinggiran. Semoga menyentuh hati nurani kita semua.

17 Tahun Menggendong Suami yang Lumpuh

Seorang istri berjuang membantu suaminya seorang guru yang lumpuh dengan cara menggendong menuju tempat mengajar selama lebih dari 17 tahun Du Chanyun adalah seorang guru di kampung Dakou kota Liushan, tepatnya di pedalaman pegunungan Tuniu. Chanyun adalah tumpuan harapan dari 500 KK yang tersebar di kampung Dakou.

Tahun 1981, setelah lulus SMA, ketika itu usianya 19 tahun, Chanyun memutuskan menjadi seorang guru SD di kampung Dakou. Pria asal kampung Nancao, Provinsi Henan ini adalah seorang guru yang gigih. Selama sepuluh tahun, setiap bulan dia hanya memperoleh gaji guru sebesar 6.5 Yuan Renmibi (sekitar Rp. 7.000).

Suatu hari, di tahun 1990, bencana datang menimpanya. Saat itu adalah musim panas. Hujan badai membasahi ruangan kelas sekolahnya. Biasanya, di liburan musim panas, orang-orang di kampung itu mengumpulkan uang untuk memperbaiki sekolah, Du Chanyun begitu bersemangat bekerja, kehujanan pun tetap kerja memindahkan batu, seluruh badan basah kuyup.

Akhirnya pada suatu hari, dia jatuh sakit, sakit berat karena kehujanan dan capek. Sayangnya, setelah sembuh ia mendapatkan tubuhnya dia sudah tidak mampu dibuat berdiri lagi. Tubuh sisi kirinya tidak dapat digerakkan. Meski begitu, ia khawatir, mengajar akan menjadi sebuah mimpi yang jauh baginya.

Istrinya, Li Zhengjie merasakan isi hati sang suami. Untuk menentramkannya, Li mengatakan, “Kamu jangan kuatir, kamu tidak bisa jalan, sampai panggung pun saya akan menggendongmu,” demikian ujar wanita dari kampung yang buta huruf ini.

Menopang Suami
Tak urung, Li memikul tanggung jawab keluarga. Setiap hari, ia harus menggendong suaminya menjadi seorang guru dari rumah sampai sekolah yang jaraknya 6 mil. Sejak 1 September 1990, jadwal hidup Li seperti ini. Setiap hari mulai pagi-pagi, Li Zhengjie bangun menanak nasi, membangunkan 4 anggota keluarganya dan menyiapkan mereka makanan. Setelah makan, ia harus menggendong suaminya berangkat mengajar.

Di sepanjang jalan, Li meraba, merangkak jatuh bangun sampai tiba di sekolah. Di sekolah, Li menempatkan suaminya di kursi lalu menitip pesan ke beberapa murid yang agak besar lantas bergesa-gesa pulang. Maklum, di rumah masih ada sawah yang menunggunya untuk dikerjakan. Sejak memikul tanggung jawab mengendong suaminya, ada dua hal yang paling dia takuti adalah musim panas dan musim dingin.

Rumah Du Chanyun berada pada Barat Selatan sekolah, walaupun jarak dari rumahnya ke sekolah hanya 3 mil, namun tidak ada jalan lain, selain dari jalan tikus, dengan batu-batuan yang berserakan, ranting-ranting pohon, sungai kecil.

Hampir Terpeleset ke Sungai
Pada suatu hari di musim panas, saat itu, baru saja turun hujan lebat, Li Zhengjie seperti hari biasa menggendong suaminya berangkat. Air sungai saat itu melimpah menutup batu injakkan kakinya. Li Zhengjie sudah hati-hati meraba-raba batu pijakan, namun tidak disangka ia tergelincir. Arus sungai yang deras menghanyutkan mereka sampai 10 meter lebih.

Untung tertahan oleh ranting pohon yang melintang di hulu sungai. Setelah lebih kurang setengah jam, ayahnya yang merasa khawatir akhirnya datang mencari, mereka ditarik, anak dan menantunya baru berhasil diselamatkan. Li lolos dari ancaman maut.

Dalam beberapa tahun ini, Li Zhengjie terus menggendong suaminya. Entah sudah berapa kali ia jatuh bangun. Pernah suaminya jatuh di posisi bawah. Kadang-kadang Li Zhengjie jatuh di posisi bawah. Suatu hari Li Zhengjie punya akal, setiap jatuh dia berusaha duluan menjatuhkan tubuhnya yang kekar menahan batu yang mengganjal. Li Zhengjie telah berjuang membantu suaminya siang dan malam. Ia bekerja keras dan capek. Sang suami, melihat dengan jelas perjuangan istrinya itu. Hati Du Chanyun merasa iba.

Sang Suami Menggugat Cerai
Pada tahun 1993, Du Chanyun memulai rencana buruk agar sang istri meninggalkannya.Ia tak ingin sang istri menderita. Untuk mencapai tujuan ini, dia mengubah karakternya, sengaja ia mencari gara-gara untuk bertengkar. Du Chanyun, mulai memakinya. Tentu saja Li Zhengjie merasa tertekan. Setelah 2 kali ribut besar, mereka sungguh-sungguh akan bercerai.

Di hari perceraian yang ditunggu, Li Zhengjie menggendong suaminya naik sepeda. Ia sangat berhati-hati mendorong suaminya ke kelurahan setempat. Semua orang sangat mengenal sepasang suami-istri yang dikenal akrab ini. Begitu melihat tampang keduanya, semua orang makin gembira.

“Saya tidak pernah melihat wanita menggendong suaminya ke lurah minta cerai, kalian pulang saja,” ujar pihak kelurahan. Setelah keributan minta perceraian tenang kembali, Li Zhengjie hanya mengucapkan sepatah kata pada suaminya.

“Walaupun nanti kamu tidak bisa bangun lagi, saya juga akan menggendong kamu sampai tua.”

Tidak Pernah Sekalipun Bolos Mengajar
Kondisi di sekolah tempat Du Chanyun mengajar sangat parah. Meski demikian, kedua pasang suami istri bisa memberikan pendidikan yang baik buat anak-anak. Di sekolah itu, pendidikan sangat kurang baik. Tidak ada alat musik dan tidak ada poliklinik. Namun Du Guangyun menggunakan daun membuat irama musik buat anak-anak. Li Zhengjie naik ke gunung mencari obat ramuan, pada musim panas dia memasak obat pendingin buat anak-anak, pada musim dingin masak obat anti flu buat anak-anak.

Di bawah bantuan istri, dalam 17 tahun, hari demi hari, tidak terhalangi oleh angin hujan, tidak pernah bolos satu kali pun. Suatu hal yang menggembirakan, data yang terkumpul dari kepala sekolah tentang hasil ujian negeri bulan April, tingkat siswa yang lulus dari sekolah SD tersebut mencapai 100 %. Tahun lalu ketika ujian masuk perguruan tinggi, ada 4 orang siswa yang dulu pernah diajari dia masuk ke perguruan tinggi, tahun ini ada 4 lagi yang lulus masuk masuk spesialis.

Kini, setiap hari raya Imlek, murid-muridnya sengaja pulang ke kampung menjenguk bapak dan ibu gurunya, masalah tersebut menjadi peristiwa yang sangat menggembirakan bagi sepasang suami istri guru ini.

Rabu, 17 Oktober 2012

Sehari Dapat Duit Rp. 20 Juta!

Bagi anda yang merasakan hidup menderita, cobalah baca tulisan saya ini. Semoga kisah nyata saya ini menginspirasi anda untuk maju dan senantiasa bersyukur kepada Allah. Sebab orang yang bersyukur senantiasa ditambah rezekinya oleh Allah pemilik kerajaan langit dan bumi.
Ada sebuah cerita yang mungkin sudah pernah saya ceritakan kepada anda melalui tulisan-tulisan saya terdahulu. Waktu itu saya benar-benar dalam keadaan kesulitan. Atap rumah saya baru saja roboh. Kayu penyangga genting sudah keropos di makan rayap. Begitu saya melihat ke atas, hampir semua kayu penyangga sudah keropos di makan rayap.
Tentu saya harus segera pindah dari rumah bersama keluarga. Kalau tidak segera pindah, maka salah seorang anggota keluarga kami akan tertimpa genteng beton BTN dari atap rumah.
Sayapun langsung mencari rumah kontrakan dekat rumah di Jatibening Bekasi, dan alhamdulillah saya dapatkan rumah kontrakan mungil satu pintu dan satu kamar. Kamipun sempat sebulan tinggal di rumah kontrakan yang sangat sederhana itu. Sebulan saya membayar Rp. 200.000,-.
Dalam tidur di rumah kontrakan saya bermimpi bertemu dengan almarhum ayah. Di dalam mimpi itu ayah berkata kalau saya akan mendapat rezeki yang cukup banyak. Saya pun terbangun di malam hari yang sunyi. Seolah almarhum ayah benar-benar hadir dalam kehidupan nyata saya.
Saya langsung ke kamar mandi mengambil air wudhu, kemudian melaksanakan sholat tahajud. Di malam itu saya berdoa. Semoga Allah memberi saya rezeki yang melimpah. Bila saya dapat rezeki, uang itu akan saya pakai untuk memperbaiki rumah peninggalan almarhum ayah.
Usai sholat tahajud, saya pun tertidur, dan almarhum ayah datang lagi dalam mimpi sambil tersenyum. Entah apa yang beliau rasakan. Ayah hanya bilang, ” terima kasih sudah merenovasi rumah ini”.
Pagi hari saya terbangun dari mimpi. Adzan subuh terdengar dari masjid di dekat rumah. Saya pun segera meluncur ke masjid untuk melaksanakan sholat subuh berjamaah. Rasanya damai, bisa melaksanakan sholat subuh berjamaah. Sayapun tak lupa berdoa semoga hari ini diberikan rezeki yang melimpah.
Pulang dari masjid, saya langsung mandi, berpakaian dinas seorang guru, dan langsung berangkat ke sekolah dengan motor jadul saya. Satu jam kemudian, saya pun sampai di sekolah.
Di parkiran motor, pak satpam sekolah memanggil saya. “pak Wijaya, ada surat dari pusat perbukuan”, begitu katanya. Sayapun langsung mengambil surat itu di meja satpam.
Sesampai di ruang guru, saya buka isi amplop itu. Ternyata isinya adalah pemanggilan saya sebagai salah satu finalis pemenang lomba naskah buku pengayaan tahun 2009.  Saya pun diminta untuk hadir di sebuah hotel berbintang di Jakarta.
Beberapa hari kemudian, saya sudah berada di sebuah hotel mewah di bilangan jakarta barat. Saya bertemu dengan teman-teman finalis lainnya. Satu demi satu para finalis di wawancarai. Tak terkecuali saya sendiri yang sangat dagdigdug ketika diwawancarai oleh dewan juri.
Malam hari, dewan juri mengumumkan pemenangnya. Saya terpilih menjadi juara pertamanya. Saya mendapatkan uang Rp. 20.000.000,-. Sungguh sebuah kejutan yang tak pernah terbayangkan. Saya pun menangis dalam kebahagiaan. Saya bersyukur dan sangat bersyukur atas terkabulnya doa.
http://stat.ks.kidsklik.com/files/2009/11/sany1654-150x150.jpg
menangis dalam kebahagiaan
Di dalam hotel kami hitung duit itu. Bersama Pak Johan Wahyudi teman sekamar yang juga mendapatkan uang yang sama, saya nikmati saat-saat menjadi seorang jutawan baru. Seorang guru yang tiba-tiba menjadi seorang jutawan. Seorang guru yang sehari dapat duit cash Rp. 20.000.000. Sebuah kisah nyata yang harus saya bagikan kepada semua orang. Bukan untuk menyombongkan diri, tetapi untuk berbagi.
Itulah sebuah kisah nyata seorang guru. Kini rumah saya sudah direnovasi. Pak Johan Wahyudi teman saya sekamar waktu itu sudah sempat bermalam dii rumah kami. Saya pun semakin menyadari, bahwa menulis bukanlah pekerjaan yang sia-sia. Akan banyak kejutan yang akan kita dapatkan, seiring dengan semakin banyaknya kita berbagi melalui tulisan-tulisan kita. Saya pun mengalami kisah nyata: Sehari dapat duit Rp. 20 juta!
Seminggu kemudian, bertepatan di hari guru, 25 Nopember 2009, saya kembali mendapatkan hadiah uang cash Rp. 4.000.000, - sebagai juara pertama lomba blog dari pusat bahasa.  Bahagia rasanya.
salam Blogger persahabatan
Omjay

Saya Adalah Ibu Tiga Orang Anak


Saya adalah ibu tiga orang anak (umur 14, 12, dan 3  tahun) dan baru saja menyelesaikan kuliah saya.
Kelas terakhir yang harus saya ambil adalah  Sosiologi. Sang Dosen sangat inspiratif dengan  kualitas yang saya harapkan setiap orang  memilikinya. Tugas terakhir yang diberikannya diberi  nama  Tersenyum". Seluruh siswa diminta untuk pergi  keluar dan tersenyum kepada tiga orang dan
mendokumentasikan reaksi mereka.

Saya adalah seorang yang mudah bersahabat dan selalu  tersenyum pada setiap orang dan mengatakan "hello",  jadi, saya pikir, tugas ini sangatlah mudah. Segera  setelah kami menerima tugas tsb., suami saya, anak  bungsu saya, dan saya pergi ke restoran McDonald's  pada suatu pagi di bulan Maret yang sangat dingin  dan kering. Ini adalah salah satu cara kami membagi  waktu bermain yang khusus dengan anak kami.

Kami berdiri dalam antrian, menunggu untuk dilayani,  ketika mendadak setiap orang di sekitar kami mulai  menyingkir, dan bahkan kemudian suami saya ikut  menyingkir. Saya tidak bergerak sama sekali ....
suatu perasaan panik menguasai diri saya ketika saya  berbalik untuk melihat mengapa mereka semua
menyingkir. Ketika saya berbalik itulah saya membaui  suatu "bau badan kotor" yang sangat menyengat, dan  berdiri di belakang saya dua orang lelaki tunawisma.  Ketika saya menunduk melihat laki-laki yang lebih  pendek, yang dekat dengan saya, ia sedang  "tersenyum". Matanya yang biru langit indah penuh
dengan cahaya Tuhan ketika ia minta untuk dapat  diterima. Ia berkata "Good day" sambil menghitung
beberapa koin yang telah ia kumpulkan.

Lelaki yang kedua memainkan tangannya dengan gerakan  aneh sambil berdiri di belakang temannya. Saya  menyadari bahwa lelaki kedua itu menderita  defisiensi mental dan lelaki dengan mata biru itu
adalah penolongnya. Saya menahan haru ketika berdiri  di sana bersama mereka. Wanita muda di counter  menanyai lelaki itu apa yang mereka inginkan. Ia  berkata, "Kopi saja, Nona" karena hanya itulah yang  mampu mereka beli. (jika mereka ingin duduk di dalam  restoran dan menghangatkan tubuh mereka, mereka  harus membeli sesuatu. Ia hanya ingin menghangatkan  badan).

Kemudian saya benar-benar merasakannya - desakan itu  sedemikian kuat sehingga saya hampir saja merengkuh  dan memeluk lelaki kecil bermata biru itu. Hal itu  terjadi bersamaan dengan ketika saya menyadari bahwa  semua mata di restoran menatap saya, menilai semua  tindakan saya. Saya tersenyum dan berkata pada wanita  di belakang counter untuk memberikan pada saya dua
paket makan pagi lagi dalam nampan terpisah.

Kemudian saya berjalan melingkari sudut ke arah meja  yang telah dipilih kedua lelaki itu sebagai tempat  istirahatnya. Saya meletakkan nampan itu ke atas  meja dan meletakkan tangan saya di atas tangan  dingin lelaki bemata biru itu. Ia melihat ke arah  saya, dengan air mata berlinang, dan berkata "Terima  kasih."

Saya meluruskan badan dan mulai menepuk tangannya  dan berkata, "Saya tidak melakukannya untukmu. Tuhan  berada di sini bekerja melalui diriku untuk  memberimu harapan." Saya mulai menangis ketika saya  berjalan meninggalkannya dan bergabung dengan suami  dan anak saya. Ketika saya duduk suami saya  tersenyum kepada saya dan berkata, "Itulah sebabnya  mengapa Tuhan memberikan kamu kepadaku, Sayang.  Untuk memberiku harapan." Kami saling berpegangan  tangan beberapa saat dan pada saat itu kami tahu  bahwa hanya karena Rahmat Tuhan kami diberikan apa  yang dapat kami berikan untuk orang lain. Hari itu  menunjukkan kepadaku cahaya kasih Tuhan yang murni  dan indah.

Saya kembali ke college, pada hari terakhir kuliah,  dengan cerita ini di tangan saya. Saya menyerahkan
"proyek" saya dan dosen saya membacanya. Kemudian ia  melihat kepada saya dan berkata, "Bolehkan saya  membagikan ceritamu kepada yang lain?" Saya  mengangguk perlahan dan ia kemudian meminta
perhatian dari kelas. Ia mulai membaca dan saat itu  saya tahu bahwa kami, sebagai manusia dan bagian
dari Tuhan, membagikan pengalaman ini untuk  menyembuhkan dan untuk disembuhkan.

Dengan caraku sendiri saya telah menyentuh  orang-orang yang ada di McDonald's, suamiku, anakku,
guruku, dan setiap jiwa yang menghadiri ruang kelas  di malam terakhir saya sebagai mahasiswi. Saya lulus  dengan satu pelajaran terbesar yang pernah saya  pelajari :
PENERIMAAN YANG TAK BERSYARAT. Banyak cinta dan  kasih sayang yang dikirimkan kepada setiap orang  yang mungkin membaca cerita ini dan mempelajari
bagaimana untuk MENCINTAI SESAMA DAN MEMANFAATKAN  BENDA-BENDA - BUKANNYA MENCINTAI BENDA DAN  MEMANFAATKAN SESAMA Seorang filsuf menulis : Banyak orang akan datang  dan pergi dari kehidupanmu, tetapi hanya sahabat2
sejati yang akan meninggalkan jejak di dalam hatimu.  Untuk menangani dirimu, gunakan kepalamu, Tetapi  untuk menangani orang lain, gunakan hatimu.  Kemarahan hanyalah satu kata yang dekat dengan  bahaya. Pikiran yang besar membicarakan ide-ide;  Pikiran yang rata-rata membicarakan
kejadian-kejadian; Dan pikiran yang kerdil  membicarakan orang-orang.

Tuhan memberikan kepada  setiap burung makanan mereka, tetapi Ia tidak  melemparkan makanan itu ke dalam sarang mereka.

Ia yang kehilangan uang, kehilangan banyak; Ia yang  kehilangan seorang teman, kehilangan lebih
banyak;Tetapi ia yang kehilangan keyakinan,  kehilangan semuanya.

Orang-orang muda yang cantik adalah hasil kerja alam, tetapi orang-orang tua yang cantik adalah hasil karya seni. Belajarlah dari kesalahan orang lain.

Selasa, 16 Oktober 2012

ANAK CACAT ITU BERNAMA SALIM

Belum sampai 30 tahun usiaku ketika istriku melahirkan anak pertamaku. Masih aku ingat malam itu, dimana aku menghabiskan malam bersama dengan teman-temanku hingga akhir malam, dimana waktu semalaman aku isi dengan ghibah dan komentar-komentar yang haram. Akulah yang paling banyak membuat mereka tertawa, membicarakan aib manusia, dan mereka pun tertawa.

ku ingat malam itu, dimana aku membuat mereka banyak tertawa. Aku punya bakat luar biasa untuk membuat mereka tertawa. Aku bisa mengubah nada suara hingga menyeruapi orang yang aku tertawakan. Aku menertawakan ini dan itu, hingga tidak ada seorangpun yang selamat dari tertawaanku walaupun ia adalah para sahabatku. Hingga akhirnya sebagian dari mereka menjauhiku agar selamat dari lisanku.Aku ingat pada malam itu aku mengejek seorang yang buta, yang aku melihatnya sedang mengemis di pasar. Lebih buruk lagi, aku meletakkan kakiku di depannya untuk mendorongnya hingga ia goyah dan jatuh, hingga dia berpaling dengan kepalanya dan tidak mengetahui apa yang ia katakan.
Leluconku menyebabkan orang-orang yang ada di pasar tertawa.Aku kembali ke rumah dalam keadaan terlambat seperti biasa. Aku mendapati istriku yang sedang menungguku tengah bersedih. Dia bertanya padaku, darimana saja kamu? Aku menjawabnya dengan sinis, “Aku lelah.” Kelelahan tampak jelas diwajahnya. Ia berkata dengan menangis tersedu, “Aku lelah sekali, tampaknya waktu persalinanku sudah dekat.”

Dalam diamnya, air matanya menetes di pipinya. Aku merasa bahwa aku telah mengabaikan istriku dalam hal ini. Seharusnya aku memperhatikannya dan mengurangi begadangku, lebih khusus di bulan kesembilan dari kehamilannya ini. Akhirnya, aku membawanya ke rumah sakit dengan segera dan aku masuk ke ruang bersalin. Aku seakan merasakan sakit yang sangat beberapa saat. Aku menunggu persalinan istriku dengan sabar, tapi ternyata sulit sekali proses persalinannya. Aku menunggu lama sekali hingga aku kelelahan. Maka aku pulang ke rumah dengan meninggalkan nomor HP ku di rumah sakit dengan harapan mereka mengabariku.

Setelah beberapa saat, mereka menghubungiku dengan kelahiran Salim. Maka aku bergegas ke rumah sakit. Pertama kali mereka melihatku, aku bertanya tentang kamarnya. Tetapi mereka memintaku untuk menemui dokter yang bertanggung jawab dalam proses persalinan istriku. Aku berteriak kepada mereka: “Dokter apa? Aku hanya perlu melihat anakku.” Akan tetapi mereka mengatakan: “Anda harus menemui dokter terlebih dahulu.”

Akhirnya aku menemui dokter tersebut. Lantas dia berbicara kepadaku tentang musibah dan ridha terhadap takdir. Kemudian ia berkata: “Mata kedua anak anda buruk, dan sepertinya dia akan kehilangan penglihatannya!”

Aku menundukkan kepala dan berusaha mengendalikan ucapanku. Aku jadi teringat dengan pengemis buta yang aku dorong di pasar dan menertawakannya di hadapan manusia.

Maha Suci Allah, sebagaimana engkau mengutuk, maka engkau akan dikutuk. Aku sangat sedih dan tidak mengetahui apa yang aku katakan. Kemudian aku ingat istri dan anakku. Aku berterima kasih kepada dokter atas kelemah lembutannya, lantas aku berlalu dan tidak melihat istriku. Adapun istriku maka dia tidak bersedih, dia ridha dan beriman terhadap takdir Allah. Seringkali ia menasehatiku untuk menjaga diri dari menertawakan orang lain, dan ia juga senantiasa mengulang-ulanginya agar aku tidak ghibah.

Kami keluar dari rumah sakit bersama Salim. Sungguh, aku tidak banyak memperhatikannya. Aku menganggapnya tidak ada di rumah. Ketika tangisannya sangat keras, aku lari ke lorong untuk tidur di sana. Sedangkan istriku sangat memperhatikan dan mencintainya. Sebenarnya aku tidak membencinya, tetapi masih belum bisa mencintainya.

Salim pun semakin besar. Mulailah dia merangkak, akan tetapi cara merangkaknya aneh. Umurnya hampir setahun, dan mulailah dia berjalan. Maka semakin jelas jika dia pincang. Maka beban yang berada di pundakku semakin besar. Setelah itu istriku melahirkan anak yang normal setelahnya, Umar dan Khalid. Berlalulah beberapa tahun dan Salim semakin besar, dan tumbuh besar pula saudara-saudaranya. Aku sendiri tidak seberapa suka duduk-duduk di rumah, seringkali aku menghabiskan waktu bersama dengan teman-temanku.

Istriku tidak pernah putus asa untuk senantiasa menasehatiku. Dia senantiasa mendoakanku agar mendapat hidayah. Dia tidak pernah marah terhadap perbuatanku yang gegabah. Akan tetapi, ia sangat bersedih jika melihatku banyak memperhatikan saudara-saudara Salim, sementara kepada Salim aku meremehkannya. Salim semakin besar dan harapanku kepadanya juga semakin besar. Aku tidak melarang ketika istriku memintaku agar mendaftarkan Salim di salah satu sekolah khusus penyandang cacat. Tidak terasa aku telah melalui beberapa tahun hanya aku gunakan untuk bekerja, tidur, makan dan begadang dengan teman-temanku.

Pada hari Jumat, aku bangun pada pukul 11.00 waktu zhuhur. Dan ini masih terlalu pagi bagiku, dimana ketika itu aku diundang untuk menghadiri suatu perjamuan. Aku berpakaian, mengenakan wewangian dan hendak keluar. Aku berjalan melalui lorong rumah, namun wajah Salim menghentikan langkahku. Dia menangis dengan meluap-luap!

Ini adalah kali pertama aku memperhatikan Salim semenjak dia masih kecil. Telah berlalu 10 tahun, tetapi aku tidak pernah memperhatikannya. Aku mencoba untuk pura-pura tidak tahu, tetapi tidak bisa. Aku mendengarkan suaranya yang sedang memanggil ibunya, sementara aku sendiri berada di dalam kamar. Aku melihatnya dan berusaha mendekat kepadanya. Aku berkata: “Salim, mengapa engkau menangis?” Ketika mendengar suaraku, ia berhenti menangis. Maka ketika ia merasa aku telah berada di dekatnya, dia mulai merasakan apa yang ada di sekitarnya dengan kedua tangannya yang kecil. Dengan apakah dia melihat? Aku merasa bahwa dia berusaha untuk menjauh dariku!! Seolah-olah ia berkata: “Sekarang engkau telah merasakan keberadaanku. Dimana saja engkau selama 10 tahun yang lalu?!” Aku mengikutinya, ia masuk ke dalam kamarnya. Ia menolak memberitahukan kepadaku sebab dari tangisannya. Maka aku mencoba untuk berlemah lembut kepadanya. Mulailah Salim menjelaskan sebab tangisannya. Aku mendengar ucapannya, dan aku mulai bangkit.

Apakah kalian tahu apa yang menjadi sebabnya!! Saudaranya, Umar, terlambat, terlambat mengantarkannya pergi ke masjid, sebab ketika itu adalah shalat jumat, dia khawatir tidak mendapatkan shaf pertama. Ia memanggil Umar, ia memanggil ibunya, akan tetapi tidak ada yang menjawabnya, akhirnya ia menangis. Aku melihat airmata yang mengalir dari kedua matanya yang tertutup. Aku belum bisa memahami kata-katanya yang lain. Aku meletakkan tanganku kepadanya dan berkata: “Apakah untuk itu engkau menangis, wahai Salim…?!”

Dia berkata, “Ya…”

Aku telah lupa dengan teman-temanku, aku telah lupa dengan undangan perjamuan.

Aku berkata: “Salim, jangan bersedih! Tahukah engkau siapakah yang akan berangkat denganmu pada hari ini ke Masjid?”

Ia berkata: “Dengan Umar tentunya, tetapi ia selalu terlambat.”

Aku berkata: “Bukan, tetapi aku yang akan pergi bersamamu.”

Salim terkejut, ia seakan tidak percaya. Dia mengira aku mengolok-oloknya. Dia meneteskan airmata kemudian menangis. Aku mengusap airmatnya dengan tanganku dan aku pegang tangannya. Aku ingin mengantarkannya dengan mobil, tetapi ia menolak seraya mengatakan: “Masjidnya dekat, aku hanya ingin berjalan menuju masjid!”

Aku tidak ingat kapan kali terakhir aku masuk ke dalam masjid. Akan tetapi ini adalah kali pertama aku merasakan adanya takut dan penyesalan atas apa yang telah aku lalaikan selama beberapa tahun belakangan. Masjid itu dipenuhi dengan orang-orang yang shalat, kecuali aku mendapati Salim duduk di shaf pertama. Kami mendengarkan khutbah jumat bersama, dan dia shalat di sampingku. Bahkan, sebenarnya akulah yang shalat di sampingnya.

Setelah shalat, Salim meminta kepadaku sebuah mushaf. Aku merasa aneh, bagaimana dia akan membacanya padahal ia buta? Aku hampir saja mengabaikan permintaannya dan berpura-pura tidak mengetahui permintaannya. Akan tetapi aku takut jika aku melukai perasaannya. Akhirnya aku mengambilkan sebuah mushaf. Aku membuka mushaf dan memulainya dari surat al Kahfi. Terkadang aku membalik-balik lembaran, terkadang pula aku melihat daftar isinya. Maka ia mengambil mushaf itu dari tanganku kemudian meletakkannya. Aku berkata: “Ya Allah, bagaimana aku mendapatkan surat al kahfi, aku mencari-carinya hingga mendapatkannya di hadapannya!!”

Mulailah ia membaca surat itu dalam keadaan kedua matanya tertutup. Ya Allah…!! Ia telah hafal surat al Kahfi secara keseluruhan…!

Aku malu pada diriku sendiri. Aku memegang mushaf, namun aku rasakan seluruh anggota badanku menggigil. Aku baca dan aku baca. Aku berdoa kepada Allah agar mengampuniku dan memberi petunjuk kepadaku. Aku tidak kuasa, maka mulailah aku menangis seperti anak kecil. Manusia masih berada di masjid untuk mendirikan shalat sunnah. Aku malu pada mereka, maka mulailah aku menyembunyikan tangisanku. Maka berubahlah tangisan itu menjadi isakan.

Aku tidak merasakan apa-apa ketika itu kecuali melalui tangan kecil yang meraba wajahku dan mengusap kedua airmataku. Dialah Salim!! Aku dekap dia ke dadaku dan aku melihatnya. Aku berkata kepada diriku sendiri, “Engkau tidaklah buta wahai anakku, akan tetapi akulah yang buta, ketika aku bersyair di belakang orang fasiq yang menyeretku ke dalam api neraka.”

Kami kembali ke rumah. Istriku sangat gelisah terhadap Salim. Namun seketika itu juga kegelisahannya berubah menjadi airmata kebahagiaan ketika ia mengetahui bahwa aku telah shalat jumat bersama Salim.

Sejak saat itu, aku tidak pernah ketinggalan untuk mendirikan shalat jamaah di masjid. Aku telah meninggalkan teman-teman yang buruk. Sekarang aku telah mendapatkan banyak teman yang aku kenal di masjid. Aku merasakan nikmatnya iman bersama mereka. Aku mengetahui dari mereka banyak hal yang dilalaikan oleh dunia. Aku tidak pernah ketinggalan mendatangi kelompok-kelompok pengajian atau shalat witir. Aku telah mengkhatamkan al Quran beberapa kali dalam sebulan. Lisanku telah basah dengan dzikir agar Allah mengampuni dosa-dosaku berupa ghibah dan menertawakan manusia. Aku merasa lebih dekat dengan keluargaku. Hilang sudah ketakutan dan belas kasihan yang selama ini ada di mata istriku. Senyuman tidak pernah pergi menjauhi wajah anakku, Salim. Siapa yang melihatnya akan mengira bahwa dia adalah seorang malaikat dunia beserta isinya. Aku banyak memuji Allah atas segala nikmat-Nya.

Suatu hari, teman-temanku yang shalih menetapkan diri melakukan safar untuk berdakwah. Aku ragu-ragu untuk pergi. Aku melakukan istikharah dan bermusyawarah dengan istri. Aku merasa dia akan menolak keinginanku. Akan tetapi ternyata sebaliknya, ia menyetujui keinginanku! Aku sangat bahagia, bahkan ia memotivasiku. Dia telah melihat masa laluku, dimana aku melakukan safar tanpa musyawarah dengannya sebagai bentuk kefasiqan dan perbuatan jahat.

Aku menghadap ke arah Salim. Aku mengabarinya jika aku hendak melakukan safar. Maka dia memegangku dengan kedua tangannya yang masih kecil sebagai ungkapan selamat jalan.

Aku telah meninggalkan rumahku lebih dari satu bulan. Selama itu, aku masih senantiasa menghubungi istriku dan juga berbicara kepada anak-anakku selama ada kesempatan. Aku sangat rindu kepada mereka. Ah, betapa rindunya aku kepada Salim. Aku sangat ingin mendengarkan suaranya. Dialah satu-satunya yang belum berbicara denganku semenjak aku melakukan safar. Bisa jadi karena dia berada di sekolah, bisa juga dia berada di masjid ketika aku menghubungi mereka.

Setiap kali aku berbicara dengan istriku perihal kerinduanku padanya (Salim), maka ia tertawa suka cita dan bahagia. Kecuali kali terakhir aku meneleponnya, aku tidak mendengar tawanya seperti biasa, suaranya berubah.

Aku berkata kepadanya: “Sampaikan salamku kepada Salim.” Istriku menjawab: “Insya Allah…!” Kemudian ia terdiam.

Terakhir, aku pun kembali ke rumah. Aku ketuk pintu. Aku berangan-angan jika Salim yang akan membukakan pintu itu. Akan tetapi, aku mendapati anakku Khalid yang usianya belum sampai 4 tahun membukakan pintu. Aku gendong dia, dan dia berteriak-teriak: “Baba…baba…”

Aku tidak tahu kenapa dadaku berdebar ketika memasuki rumah.

Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.

Istriku menyambutku. Wajahnya mulai berubah, seolah-olah kebahagiaannya dibuat-buat.

Aku perhatikan ia baik-baik kemudian aku bertanya: “Ada apa denganmu?”

Ia berkata: “Tidak apa-apa.”

Tiba-tiba aku teringat Salim, maka aku berkata: “Dimana Salim.”

Istriku menundukkan wajahnya dan tidak menjawab. Airmata yang masih hangat menetes di pipinya.

Aku berteriak, “Salim…! Di mana Salim?”

Aku mendengar suara anakku Khalid yang hanya bisa mengatakan: “Baba…”

“Salim telah melihat surga,” kata istriku.

Istriku tidak kuasa dengan situasi ketika itu. Ia hendak menangis, hampir saja ia pingsan. Maka kemudian aku keluar dari kamar.

Aku tahu setelah itu, bahwa Salim terserang panas yang sangat tinggi beberapa hari sebelum kedatanganku. Istriku telah membawanya ke rumah sakit, ketika tiba disana maka ia menghembuskan nafas terakhir. Ruhnya telah meninggalkan jasadnya.
Aku mengira, anda semua wahai para pembaca akan menangis, dan air mata anda akan mengalir sebagaimana air mata kami juga mengalir. Anda akan tersentuh sebagaimana kami juga tersentuh. Aku berharap Anda semua tidak lupa untuk mendoakan Salim, lebih khusus lagi bagi ibunya yang tetap teguh menjalankan tugasnya walaupun suaminya pergi. Jadilah ibu tersebut seperti perusahaan sebenarnya yang menghasilkan kaum laki-laki yang kuat. Semoga Allah membalas amal kebaikannya.(Pelaku dari kisah ini termasuk diantara dai yang ternama dan terkenal. Ia memiliki banyak rekaman, ceramah dan tulisan. Sumber diambil dari kisah yang berjudul “Allah Azza wa Jalla memberi hidayah kepada siapa yang Ia kehendaki”,

Sumber : Qiblati tahun ke 2 cetakan ke VII

Senin, 08 Oktober 2012

AKU INGIN BERJILBAB SEPERTI KAKAK ..

Ada segores pedih saat ku ukir namamu dik…, Perih. Seakan ribuan belati menusuk ke hati, meninggalkan gumpalan sedih di lubang rasaku.. Penyesalan yang tak berujung, yang membuatku merutuki diri ini yang begitu ego diri. Allah…, Ampuni aku.. Adik, maafkan kakak….

Aku mengenalmu pertama kali ketika kami masih berpakaian putih abu-abu, dan berlanjurt di tingkat kuliah. Aku masih teringat sinar matamu saat aku memasuki kelasmu, dan kamu mengajak kami dan teman-temanmu memanfaatkan waktu kalian di sela waktu luang dalam sebuah majlis ilmu. Kajian jum’at, yang rutin ku jalankan bersama teman-teman akhwatku di rohis.



Sayangnya, sepertinya teman-temanmu tidak begitu merespon, mereka lebih suka menghabiskan waktunya dengan bergosip dan hal-hal yang tidak bermanfaat, tapi kamu berbeda. Kamu terlihat istimewa. Kamu datang, dengan wajah penuh riang. Dik, sampai sekarang aku masih ingat senyuman yang tak penah lepas dari wajahmu.

Senyuman yang dapat menghilangkan segala penat dan lelahku karena tugas-tugas yang menumpuk, program kerja di rohis yang begitu padat, rapat-rapat dan pertemuan yang begitu melelahkan. Tapi kamu…, yah kamu tetap riang dan seolah mengajarkan kami kakak-kakakmu untuk tetap semangat dan menikmati dunia dengan riang.

Kamu semakin dekat pada kami, kamu begitu mudah menyerap segala pengetahuan yang kami berikan kepadamu. Kamu cerdas dik. Mungkin karena belajar dengan hati, kamu begitu mudah menerima kebaikan. Kamu hanif dik, hatimu begitu lembut dengan kebenaran… Allahu akbar, aku malu dik saat menyadari betapa banyak kesombongan di hati ini, tak seperti kau yang sangat bersahaja.

Aku mulai menyadari, dirimu sangat berbeda dengan teman-temanmu. Kamu begitu dekat dengan kami, senior-seniormu, bahkan sangat manja, berbeda dengan teman-temanmu yang cukup segan kepada kami. Tapi aku suka sifatmu dik, aku seolah memiliki adik baru. Kamu sangat perhatian pada kami, terutama padaku. Itu yang ku rasa dulu, setiap di sela jam istirahat, kamu pasti selalu membawa coklat untukku, dan berbisik padaku:

“Kak, jangan bilang sama kak iva yah, aku cuma kasih kakak. He he he.” Katamu dengan wajah penuh rahasia. Aku tertawa, menyambutnya juga dengan wajah tak kalah licik. Ha ha ha ( mb.iva mungkin kamu ingat itu…lucunya adik kita yang satu ini.

Tapi ternyata aku salah, kau melakukan hal yang sama pada mb.iva juga. Kami tertipu, tetapi kami tetap senang. Begitulah caramu membuat kami merasa begitu kamu cintai. Allah, begitu banyaknya dia mengajari kami.Hari itu kamu mendatangiku, dengan wajah penuh semangat lebih dari biasanya. Kamu bertanya kepadaku:

“Kak, aku mau kayak kakak. Menutup aurat dengan sempurna.” Allahu Akbar ! aku menyambut dengan begitu bahagia. Aku sampaikan pada uphi, Hilda dan ade, serta akhwat-akhwat yang lainnya. Mereka merespon dengan begitu bahagia. Kau memintaku menemanimu membeli kain, tentu saja aku mau. Subhanallah, bahagianya hatiku saat itu. Serasa tiada hari terindah melebihi ketika aku pergi bersamamu pada hari itu.

Beberapa hari kemudian kamu datang dengan wajah cemas. Katamu, keluargamu tidak senang dengan perubahanmu, bahkan mereka pernah menyembunyikan jilbabmu. Kamu pun kini ragu dengan pilihanmu. Aku mencoba meyakinkanmu bahwa Allah lah sebaik-baik penolong. Tak ka nada yang bisa menyakitimu dalam lindungan-Nya. Kamu menangis.

Kemudian aku mengajakmu ke mushola. Kita shalat dhuha, dan selesai shalat kamu berkata mantap, “Aku mantap untuk memakainya kak.” Subhanallah, ya Allah, Engkau penguasa hati makhluk-Mu…

Keesokan harinya, kamu dengan jilbab lebarmu, dengan wajah yang sangat berbahagia. Aku memeluk dan menciummu dengan penuh sayang. Aku mencubit pipi tembemmu yang besemu merah, semua akhwat memelukmu dengan bahagia, ahlan wa sahlan yaa ukhti, semoga kamu terjaga dalam busana syar’i ini.

Kamu pun smakin dekat padaku, sangat perhatian pada kami smua, tak pernah seingatku kamu tak datang menjengukku setiap kali aku sakit. Kamu selalu datang walau dalam kondisi sangat lelah.. Dik, kakak sangat bangga padamu.. Kamu semakin aktif, semua amanah yang diberikan mampu kamu kerjakan dengan penuh semangat. Bahkan, rasanya tanpa kamu, kami sangat kerepotan. Kami sangat sayang padamu dik.

Tak terasa 2 tahun kebersamaan kita…. Aku lulus, dan harus meninggalkan kampus kita tercinta, meninggalkan rohis MPM KARAMAH (Mahasiswa Pencinta -Mushallah Kerukunan Remaja Mushallah Aliyah) yang kami rintis dari awal dengan penuh perjuangan, akhwat-akhwatku, adik-adik mentorku, perjuangan kami. Aku harus meninggalkan mereka semua.

Termasuk kamu dik. Kamu menangis, kamu meminta kami agar tak meninggalkan kalian. Yah, kami berjanji akan lebih sering mengunjungi. Tak akan berhenti memperhatikanmu dan yang lain. Tapi, ternyata….

Semua hanya janji, kami masuk dalam lingkungan kampus, yang kesibukannya menumpuk, terlebih aku mengambil fakultas paling sibuk di antara semua fakultas yang ada… Aku tak menepati janji, aku ingkar padamu dik. Allah, ampuni aku…

Aku melupakanmu, aku mulai sibuk di lembaga dakwah kampusku, yang juga meminta perhatian yang sangat besar. Kuliah-kuliahku, lab-labku yang membuatku tak punya waktu untuk yang lain, termasuk padamu. Aku mulai melupakanmu, tapi kamu sering sekali menelponku.

Yah…telpon-telponmu dik.. .Allah, jika mengingat ini, sungguh penyesalanku seakan tak ada habisnya. Kamu begitu sering menelponku, menceritakan semua keadaan di SMU kita, tentang keluargamu yang semakin menentangmu, tentang saudaramu yang sangat membencimu, tentang tidak adanya orang yang mau mendengarkan seluruh keluh kesahmu.

Bahkan terkadang, kamu meneleponku sampai dua jam. Dan aku yang begitu egois, mulai bosan dengan semua keluhanmu. Aku yang terkadang begitu lelah dengan rutinitasku, yang hanya mencuri waktu untuk istirahat, juga harus terganggu dengan teleponmu. Ampuni hamba ya Allah…, aku mulai menghindarimu, tak ku jawab telepon-teleponmu, tapi kamu sekalipun tidak marah. Ya Allah…

Suatu hari, kamu datang ke rumah dengan wajah letih, tak ku temukan keceriaan itu lagi. Ada yang aneh pada dirimu dik, aku sangat terkejut melihatnya…

Wajahmu yang dulu penuh semangat dan selalu dihiasi senyum,keceriaan, yang biasanya mampu mengobarkan semangat orang-orang di sekitarmu. Kini kamu begitu berbeda, wajahmu begitu pucat, loyo, tanpa semangat hidup seperti dulu.

Tubuhmu dik…, Allah… ada apa dengan dirimu dik ? dulu kamu begitu gemuk menggemaskan, dengan pipi tembem yang sangat lucu hingga matamu yang sipit akan semakin kecil saat dirimu tersenyum. Dulu kami (akhwat-akwhat) di rohis sering menyebutmu “Roti donatku” dan kamu akan membalasnya dengan wajah cemberut, yang kemudian diikuti dengan merajuk… tapi kini, kamu sangat kurus dik… sakit kah dirimu ? ini memang pertemuan pertama kita setelah aku lulus, selama ini kita hanya berkomunikasi melalu telepon..

Dulu setiap kali kita berkumpul kamu akan menceritakan semua pengalamanmu padaku, bibirmu akan terus berceloteh tanpa henti, dengan riang dan semangat… aku selalu menjadi pendengar setiamu… tapi kini kamu hanya diam membisu, tercenung tanpa berkata apa-apa….

Saat ku tanya kamu dari mana ? kamu hanya menjawab dengan singkat bahwa kamu hanya kebetulan lewat setelah pulang tarbiyah… lalu selebihnya kamu hanya diam… Dik, tahukah kau, betapa banyak yang ingin ku tanyakan kepadamu? tapi aku tak ingin menambah penatmu dengan pertanyaan-pertanyaanku. Jadi ku biarkan saja kamu dalam diammu… hingga akhirnya kamu tertidur… Aku menatap wajahmu yang teduh dalam tidurmu… dik, sebenarnya apa yang terjadi denganmu ?

Lalu kamu pun pamit, pergi tanpa sedikitpun cerita sebagaimana lazimnya….

Aku kembali dalam duniaku, Kuliahku, labku, amanah dakwahku… Dan.. Ya Rabb, aku kembali melupakanmu dik, hingga kemudian aku menerima sebuah telepon dari temanmu, “Kak, Diana sakit, sudah 1 minggu dia tidak masuk sekolah, kayaknya parah, kalau bisa kakak sempatkan waktu untuk menjenguknya, dia selalu menanyakan kakak dan akhwat-akhwat yang lain.” aku tercenung di ujung telepon, tak tahu harus berbuat apa..

Saat aku dan akhwat-akhwat lain tiba di rumahmu, segera kami ke kamarmu, kamar sempit yang pengap. Hatiku miris…, aku baru kali ini ke rumahmu dik. Rabb, aku baru menyadari betapa aku tidak memperhatikan saudaraku yang memberiku parhatian luar biasa selama ini. Hatiku perih melihat keadaanmu, tubuhmu begitu kurus seperti seonggok tulang berselimut kulit, aku bahkan tak mampu mengenalimu, tubuhku bergetar, dadaku sesak menahan tangis, air mataku jatuh tak mampu ku bendung..

Aku mendekatimu, kamu berusaha tersenyum tapi yang ku lihat adalah ringisan menahan sakit. Aku mencoba menahan perasaanku. Aku memelukmu, mencium keningmu, akhwat yang lain pun melakukan yang sama… kamu tersenyum, mencoba menggapai tanganmu, ku raih dan ku genggam tangan kurusmu… ku mencoba menghiburmu dengan berbagai cerita lucu, kamu tertawa, akwat-akhwat pun tertawa, tapi aku menangis di sini. Di lubuk hati terdalamku, meratapi keacuhanku…,Ketika ingin pamit, kau ingin menahanku, maafkan kakak dik, harusnya dulu aku menemanimu lebih lama dalam kesakitanmu…

Aku mencoba bertanya pada ibumu kenapa kamu tidak dibawa ke Rumah Sakit, dan kembali ku temukan jawaban yang menghempaskan perasaanku hingga hancur berkeping-keping, kau menderita kanker kelenjar getah bening. Dan karena ekonomi, tak punya biaya, kamu hanya di bawa ke puskesmas. Kamu sudah pernah dibawa ke RS tapi di keluarkan karena tak punya biaya…

Rabbana, apa gunaku selama ini, inikah ukhuwah yang aku dengang-dengunkan selama ini? inikah ikatan persaudaraan bagai satu tubuh yang selalu aku ikrarkan dalam setiap majelis yang aku bawakan? inikah kasih sayang yang aku serukan? Tidak, aku harus melakukan sesuatu untukmu dik… Saat itu segera aku bertanya krpada kakakku, dan katanya aku harus mengambil surat keterangan tidak mampu untukmu agar kamu dapat segera di rawat secara gratis…Tunggu aku, aku akan berusaha… ku bisikkan padamu bahwa aku pasti kembali…

Aku kembali menjengukmu dik bersama hilda dan uphi serta beberapa akhwat lain. Aku belum berhasil menyelesaikan urusan surat miskin itu, ternyata harus dengan berbagai macam prosedur, tapi aku akan berusaha dik…Kali ini kondisimu semakin memburuk. Aku memelukmu dan dan kamu berkata “Ini kakak yang cengeng itu yah?” kamu tersenyum.. Aku terperanjat, Rabbana… Dik apa kamu sekarang tidak bisa melihatku ? kamu tersenyum dan berkata, “Kak, afwan kalo bicara suaranya di kencengin yah, aku sudah tidak bisa melihat dan mendengar lagi.”

Tubuhku bergetar, aku tahu wajahku pucat pasi saat itu, aku pun tak bisa membendung tumpahnya air mataku, aku menangis. Para akhwat menarikku menjauh darimu. Dalam pelukan akwat, aku tumpahkan segala rasaku, sedihku, penyesalanku, dan ketakutanku… aku takut kau tak mampu bertahan dik… sungguh aku sangat takut kehilanganmu.

Tiba-tiba kamu tidak sadarkan diri, tak lama kemudian kamu siuman lagi, begitu seterusnya…

Allah, kurasakan aroma sakaratul maut semakin dekat di ruangan ini… ku raih tangan ringkihmu.. inilah tangan yang dulu sering memelukku dari belakang, menutup mataku dan menyuruhku menebak siapa dia, dan tentu saja aku tahu, tak ada tangan yang segemuk punyamu dik, saat aku menjawab, “Pasti si roti donat” kamu tertawa… tapi kini tangan itu tak mampu bergerak lagi… Aku usap air mata di pipimu dik, kamu menangis, apakah kamu merindukanku, merindukan kami saudaramu, yang telah melupakanmu ? sudihkah kau memaafkan kami dik ?

Aku mendekatkan bibirku ke telingamu, aku tak tahu apakah saat itu kau sadar atau tidak. Aku bisikkan kalimatullah. Aku menuntunmu menyebut nama-Nya “Laa Ilaaha illallaah…laa Ilaaha illallah…” bibirmu bergerak dan aku mendengarmu berkata “Allah…Allah..” Rabbana inikah sakaratul maut… sesakit inikah…??? Ya Rabbal izzati… Allahummagfirlahu, Allahummarhamhu… Ampunilah dia, Rahmatilah dia…Aku baru selesai shalat subuh, yang kemudian aku lanjutkan dengan Al-Ma’tsurat dzikir pagi. Hari ini aku berencana mengambil surat keterangan miskin untukmu, yang dijanjikan selesai hari ini, aku sangat bersemangat.

Kamu akan segera di rawat dik. Saat baru saja aku hendak mandi, telepon berbunyi, ternyata dari ukhti Uni, mungkin dia mengajak menjengukmu lagi, tentu saja aku mau, tapi aku salah, berita yang aku terima sungguh sangat membuatku terguncang.. “Ukhti, adik kita Diana… Innalillahi wa innailaihi Rojiun”

Aku tak mau berburuk sangka ” Uni, kamu ngomong apa sih ? ada apa ? ngomongnya jangan nangis gitu dong…?” kataku mencoba menenangkan diri .

“Diana ukh, dia sudah nggak ada, dia meninggal tadi malam jam 01.00, kita doakan yah.. nanti kita sama-sama melayat ke rumahnya” Rabbana… aku terdiam, tak mampu berkata-kata, serasa ada benjolan besar di tenggorokanku yang siap meledak, aku terdiam, tak ku hiraukan uni yang terus memanggilku dan terus menyuruhku bersabar.. aku terduduk.. menangis.. aku tumpahkan segala kesedihanku, penyesalanku, keacuhanku, ketakpedulianku, keegoisanku…

Wajahmu terus berkelabat dalam benakku, senyummu, tawamu, manjamu, semangatmu… aku terus menangis…

Baru saja jenazahmu di bawa dari rumahmu. Ibumu sejak tadi tak sadarkan diri. Kakakmu yang kamu bilang membencimu ternyata sangat mencintaimu, dia yang merawatmu selama kamu sakit. Dik, begitu banyak orang yang datang melayatmu, menghantar jenazahmu, mensholatimu.. .aku hanya bisa diam menatap iringan membawamu ke tempat pembaringanmu meninggalkan kami…

Dik, kakak tak mampu menemanimu lagi seperti dulu, tak akan ada lagi telepon-teleponmu dan smsmu yang kini dan hingga kini ku rindukan dan selalu ku nanti tapi aku tahu hanya akan berbalas kesedihan. Tak ada lagi coklat-coklat kejutan rasa cintamu pada kami… Tak ada lagi cerita-ceritamu tentang masalah-masalahmu yang kini dan hingga kini selalu ku nantikan dan ku tahu hanya berbalas kecewa.

Dik, maafkan kakak, Semoga kau tenang disana, semoga kau dapat menahan himpitan kubur yang kita semua akan merasakannya. Rabbana… Lapangkanlah kuburnya, terangilah dengan cahaya-Mu, jauhkanlah dia dari adzab kubur… Bukakanlah pintu jannah-Mu, sungguh dia adalah mujahidah-Mu, dia adalah tentara yang memperjuangkan agama-Mu..

Ku tahu saat ini begitu banyak dari kami menangisi kepergianmu mujahidah, namun aku pun yakin, ribuan penduduk langit bersorak menyambut kedatanganmu dan ribuan malaikat menaungimu dalam hamparan sayapnya… dalam kedamaian di sisi Rabbmu… Pergilah adikku… kakak ridho..

“Kak, apa aku juga bisa disebut mujahidah ? aku kan tidak berperang” …tertawa…

“Tentu saja dik, setiap orang yang memperjuangkan agama Allah dan mati dalam keyakinan pada-Nya adalah seorang mujahid-mujahidah.” …

“Kak, aku mau berjilbab lebar seperti kakak, pantas nggak yah? aku kan gendut…?” …katamu tersenyum malu…

“Kau akan sangat cantik dengan busana syar’i dik, masih adakah yang lebih penting dari kecantikan di mata Allah…?”

….Kau tertawa…

“Aku mauuuuu cantiiik di mata Allah…” …Tertawa riang….

*** Untuk adikku Diana tenanglah disana, dalam perlindunganNya, tak akan ada yang mampu menyakitimu dik…” ****

Barakallahufikum ....

... Semoga tulisan ini dapat membuka pintu hati kita yang telah lama terkunci ...

~ o ~

Salam santun dan keep istiqomah ...

Sedikit Kisah Nyata Pengorbanan Orang Tua

Artikel ini saya ambil dari salah satu group Facebook dan ini benar-benar kisah nyata dari salah satu orang tua mahasiswa dari kampus saya, semoga dapat menjadi peringatan dan pembelajaran bagi kita semua, mahasiswa.
Kemarin ada Ayah mahasiswa yang datang dari daerah ke CDC..
Ayah mahasiswa tersebut datang karena kuliah anaknya berantakan, nyaris semua nilainya E karena anak tersebut tidak pernah datang kuliah.
Kedatangan Ayah mahasiswa itu benar2 membuat saya sedih.. Beliau bercerita bahwa agar anaknya dapat kuliah, beliau harus menjual truknya, hartanya yang paling berharga karena dipakai untuk mencari nafkah. Beliau tidak ingin anaknya bernasib sama seperti dirinya, yang tidak mengenyam bangku perkuliahan hingga akhirnya pilihan hidupnya menjadi terbatas. Beliau ingin anaknya kuliah agar memiliki kebanggaan dan hidup lebih baik darinya..
Beliau bekerja keras untuk memenuhi semua kebutuhan anaknya. Laptop, tempat kost, dll…semua dipilihkan yang terbaik karena baginya kebahagiaan anak adalah yang utama walaupun terkadang di daerah beliau terpaksa harus menghemat bahkan untuk makan, akan tetapi selama ini hal tersebut tidak pernah diutarakan kepada sang anak. Anaknya hanya tahu beres, saat ingin laptop, maka laptop tersedia. Saat ingin ipad, ipad tersedia. Baginya yang penting anaknya bahagia. Beliau berkata “apapun akan saya berikan kepada anak saya, darah dan nyawa sayapun kalau dia minta akan saya berikan, saya tidak ingin uang, harta, apapun..biarlah apabila anak saya nantinya sukses itu untuk dia saja. Saat ini, saya hanya ingin melihatnya berhasil karena saya ingin dia lebih baik daripada saya”.. Aduh jujur saat itu terharu sekali sekaligus sedih saat mendengarnya, sampai susah sekali menahan emosi saat itu. Sedemikian besarnya pengorbanan orang tua demi anaknya.
Hmm.. bagi teman-teman yang sedang kuliah saat ini, kuliah dengan benar adalah salah satu hal yang dapat membuat orang tua kalian bahagia. Selagi masih bisa, selagi mereka masih ada mendampingi kalian, bahagiakanlah mereka..
Bagi teman-teman yang saat ini merasa kuliah masih belum serius, tolong coba hargai pengorbanan yang telah dilakukan oleh orang tua kalian.
Bertanyalah kepada diri kalian… Sudahkah kalian membahagiakan orang tua kalian?
loading...

Download App Kisah Nyata
di Google Playstore